Fiqh madani : konstruksi hukum Islam di dunia modern
Muhyar Fanani (Pengarang) ; Fuad Mustafid (Pengarang)
Tersedia di:
Deskripsi
Berawal dari sebuah keprihatinan terhadap masyarakat Syria, Timur Tengah, dan dunia muslim yang pada garis besarnya memilliki problem seputar penegakan demokrasi kebebasan sipil, dan ketertinggalanya dengan dunia Barat yang telah mengantarkan masyarakat terperosok ke dalam problematika yang lebih beragam, seperti neo-kolonialisme, kemiskinan, ketidakberdayaan, korupsi, kesenjangan ekonomi, radikalisme, tuduhan sebagai sarang teroris, peminggiran peran perempuan, dan krisis intelektual. Memaksa kaum intelektual Syria, Timur Tengah, dan dunia muslim lainya untuk mencoba mencari formula baru sebagai solusi problematika yang dapat membangun masyarakat madani (civil society). Dalam hal ini, Muhammad Syahrur, salah seorang cendikiawan Syria, memiliki pemikiran bahwa, problematika dunia Islam, pada garis besarnya, adalah disebabkan kecenderungan dunia Islam yang mengadopsi pemikiran-pemikiran hukum Islam klasik secara utuh tanpa merekonstektualisasikanya terhadap perkembangan masyarakat. Masyarakat muslim pada umumnya menilai pemikiran ulama-ulama terdahulu merupakan kebenaran mutlak karena dapat memajukan dunia Islam waktu itu. Padahal, kemajuan Islam zaman itu dikarenakan pemikiran yang lahir sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Sehingga, untuk meraih kembali kejayaan Islam, pemikiran-pemikiran ulama terdahulu haruslah direkontekstualisasikan terhadap perkembangan zaman. Dalam kerangka itu, Syahrur mencetuskan sebuah teori fiqh (hukum Islam) yang cukup kontroversial, yakni teori hudud. Teori ini sempat menggemparkan dunia Arab karena dianggap menyimpang dari asumsi kebenaran yang selama berabad-abad diyakini oleh masyarakat Syria dan Arab. Secara terminology, kata hudud merupakan bentuk plural dari kata Al-hadd (batas/hukum). Dalam kecenderungan ahli fiqh (fuqaha), hudud diartikan sebagai hukuman yang sudah ditentukan Allah. Maksud dari hukuman yang telah ditentukan Allah adalah bahwa hukuman itu sudah dibatasi, sudah ditentukan, tidak boleh dikurangi atau ditambah. Dengan begitu, hudud hanya diketahui dari teks eksplisit nash (ketetapan Allah), tidak boleh didasarkan atas makna implisit nash maupun ijtihad (pemikiran manusia). Dengan kata lain, hudud adalah hukuman yang sudah secara jelas ditetapkan oleh teks (nash Al-Qur’an dan sunnah) yang berlaku secara mutlak. Dalam hal ini, Syahrur mempunyai pemahaman berbeda dengan ’pakem’ fuqaha. Syahrur memaknai hudud adalah sebagai batasan, yang dapat diubah sesuai kondisi dan bukan ketentuan mutlak. Artinya, bahwasanya segala ketentuan yang tertulis dalam kitab suci Al-Qur’an dan sunnah merupakan batasan dari Allah. Sehingga, batasan itu dapat saja di geser untuk memperoleh ’maslahah’ terhadap situasi zaman modern ini. Pemahaman Syahrur terhadap risalah (ketetapan hukum) Muhammad, berbeda dengan risalah Nabi Musa atau Isa. Karakteristik khusus risalah Nabi Muhammad adalah sifatnya yang hududi, bukan ayni (hukum limitatif). Dengan demikian, risalah tersebut berisi hukum-hukum hanif (fleksibel) yang mampu berinteraksi dengan tuntutan situasi dan kondisi lokal-temporal-spasial. Sehingga, sudah seharusnya hukum Islam direkontekstualisasikan terhadap keadaan yang sedang berlangsung. Pertanyaanya, apakah dapat diaplikasikan secara utuh di Indonesia? Tentunya tidak. Dalam kerangka ini, Dr. Muhyar Fanani dalam buku tugas akhir doktornya ini memberikan terobosan spektakuler dalam penyempurnaan teori hudud Syahrur. Sehingga teori ini dapat dieplikasikan secara lebih efektif di Indonesia. Dalam buku ini Muhyar mengkritisi teori Syahrur dan menyempurnakanya. Muhyar menilai bahwa teori hudud Syahrur tidak mampu keluar dari hegemoni positivisme-nomotetik yang pada akhirnya akan melahirkan ilmu yang monologal dan sulit menumbuhkan emansipasi masyarakat karena masyarakat masih didominasi oleh positivisme ilmiah (logika nomotetis), jika ini dibiarkan, jutru akan menumbuhkan otoritarianisme, sebab tradisi positivisme mengandung kepentingan teknis, yakni mengontrol dan mendominasi. Dari sini Muhyar membuktikan kemampuan akademiknya dengan melahirkan teori hudud kritis. Teori ini memberikan perubahan pada hudud Syahrur yang pada dasarnya megedepankan ilmu-ilmu kealaman dan dominasi para ilmuan dalam menetukan hukum dengan metodologi ilmu-ilmu humaniora, terutama metode hermeneutika yang secara tegas membiarkan subyek (ilmuan) meleburkan diri dengan obyek (masyarakat) dan partisipasi masyarakat dalam menciptakan hukum setelah hudud Allah ditemukan. Diantara perubahan Muhyar adalah melengkapi teori ini dengan logika ideografis dan refleksi-diri, yaitu menafsirkan makna dengan tindakan-tindakan sosial, dan bukan menjelaskan menurut sebab-akibat. Dengan demikian, subjek dapat menguak makna, bukan sekedar menemukan kausalitas yang niscaya. Dalam kerangka ini, teori hudud kritis menuntut ilmuan (subjek) untuk berpartisipasi dalam objek. Teori hudud yang telah diperbarui inilah yang akan melahirkan masyarakat madani. Inti dari masyarakat madani adalah adanya emansipasi masyarakat sehingga masyarakat memiliki kebebasan dalam berkehendak, berkesadaran, dan bebas dari segala bentuk distorsi komunikasi akibat dari adanya dominasi pihak luar yang membelenggu. Dalam kerangka ini, Muhyar dalam ‘hudud kritisnya’ menggunakan pendekatan historis dan interpretatif-kritis. Selain itu, ia juga menambah metodenya dengan refleksi-diri. Dengan demikian, teori ini akan mampu memahami manusia dari dimensi interaksi sosial-budaya, baik horisontal (intersubjektif) dan vertikal (kesejahteraan dan aspirasi) dan melalui analisis reflektif sehingga mampu membebaskan manusia dari belenggu ideologis atau struktur politik yang mengurungnya. ; indeks, 423-428 ; halaman, 369-421