Di Antara Para Sahabat Pak Harto 70 Tahun
G Dwipayana ; Nazaruddin ; Sjamsuddin
Tersedia di:
Deskripsi
Sebanyak 34 mantan wartawan Istana yang pernah bertugas di Istana Negara pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto menuliskan kisah-kisah mereka dalam buku “34 Wartawan Istana Bicara tentang Pak Harto.” Salah satu cerita yang diangkat terjadi menjelang kejatuhan Soeharto pada tahun 1998. Kisah itu ditulis oleh B Wiwoho, wartawan harian Suara Karya. Wiwoho menceritakan, 10 tahun sebelum kekuasaan Soeharto berakhir, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) Yoga Soegomo sesungguhnya telah “memperingatkan” Pak Harto tentang situasi negara yang ia nilai tidak menguntungkan sang Presiden. Dalam pertemuan rutin mingguan di antara keduanya, Yoga menyampaikan empat poin pandangannya. Pertama, Pak Harto akan mencapai usia 67 tahun pada Pemilu 1988 dan sudah menjadi kepala negara selama 22 tahun, sehingga ia akan sampai pada tahap jenuh dan lelah. Kedua, pemerintahan Soeharto dikhawatirkan akan melemah karena puncak keemasan kepemimpinannya diprediksi hanya berlangsung pada periode 1983-1988. Ketiga, bisnis keluarga Soeharto – terutama bisnis putra-putranya – terus membesar dan menggurita sehingga Soeharto rawan menjadi sumber kecemburuan sosial dan sasaran tembak. Keempat, informasi yang diterima Soeharto dari orang-orang dekatnya dikhawatirkan akan semakin tidak akurat karena sumber dan jaringan informasi milik Pak Harto semakin menyempit akibat kesenjangan generasi. Intinya, sang Kepala BAKIN Yoga Soegomo menyarankan Soeharto untuk mundur dari jabatan presiden dengan jiwa besar, dan mempersiapkan suksesi kepemimpinan pada Pemilu 1988. Yoga berjanji akan mendukung penuh dan menjamin keamanan siapapun suksesor yang ditunjuk Soeharto. Namun usul Yoga tersebut tak ditanggapi oleh Soeharto. Dalam perdebatan yang menegangkan, dua pejabat penting negara menolak saran Yoga mentah-mentah, sedangkan Ibu Negara Tien Soeharto yang diam-diam mengamati diskusi sambil melintas di ruang pertemuan, tampak cenderung menyetujui pendapat Yoga. Soeharto sendiri diam seribu bahasa, sehingga akhirnya usul agar Pak Harto lengser keprabon pada tahun 1988 itu kandas. Sepuluh tahun kemudian, 1998, pemerintahan Soeharto terbukti di ujung tanduk. Sebelas menteri mundur dari kabinet yang baru berumur 70 hari. Mereka menyatakan keberatan mendukung Pak Harto, terlebih desakan mundur dari rakyat menguat dan demonstrasi besar terjadi hampir di seantero nusantara. Surat pengunduran 11 menteri itu diterima Soeharto pada Rabu malam, 20 Mei 1998, di tengah meningkatnya eskalasi gejolak rakyat. Soeharto pun mengambil keputusan. “Ora dadi Presiden yo ra patekan,” kata Soeharto. Artinya, tidak jadi Presiden pun tidak rugi apa-apa. Kamis, 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden. Sang penulis kisah itu, Wiwoho, mengatakan terlepas dari berbagai kelemahan Soeharto sebagai manusia, ia adalah orang besar yang pernah memimpin Indonesia tumbuh menjadi negara yang disegani oleh pemimpin dunia. “Sekuat-kuatnya orang, suatu saat pasti akan lemah juga. Stamina akan turun dan kejenuhan menghampiri,” kata Wiwoho. Inilah yang menurutnya kerap dilupakan para penguasa dunia, termasuk Soeharto.