Fast learner : cara, gaya, dan tips beradaptasi dengan keadaan
Setyanto P. Santoso (Pengarang) ; Aam Amilia (editor) ; Abdullah Mustafa (editor) ; Salim Shahab (editor) ; Den Setiawan (editor)
Tersedia di:
Deskripsi
Bibliografi : halaman 445-452 ; Indeks : halaman 454-460 ; Tokoh yang berhasil “memaksa” Pemerintah untuk segera meng-go-international-kan PT Telkom pada tahun 1995 adalah Setyanto P. Santosa, Direktur Utama Telkom saat itu. Pemerintah sebenarnya tidak merekomendasikan BUMN ini segera menjadi perusahaan publik karena dianggap masih belum layak. Masih banyak sisi yang harus diperbaiki, mulai dari sistem akuntansi yang harus berstandar internasional, budaya perusahaan yang masih diwarnai budaya monopoli, profesionalisme yang masih harus ditingkatkan (apalagi jika harus mencapai profesionalisme setara perusahaan multinasional), jumlah SDM yang masih besar, dan organisasi perusahaan yang harus diefisienkan. Ternyata seabreg tantangan itu tak membuatnya ciut. Dengan berani ia terus berusaha mendesak pemerintah agar Telkom menjadi BUMN pertama yang go public bahkan go international. Seiring dengan itu, ia dan Tim IPO (Initial Public Offering) Telkom terus mengikis berbagai kekurangan perusahaan yang dipimpinnya agar memenuhi standar perusahaan publik di Wall Street. Untuk meyakinkan pemerintah, dan juga agar perusahaannya lebih menarik di mata investor, tiga program besar dilakukan sekaligus yakni restrukturisasi perusahaan, mempersiapkan IPO, dan memenuhi program pemerintah untuk menjalin kerja sama dengan berbagai perusahaan telekomunikasi besar dunia dalam program Kerja Sama Operasi (KSO). Mungkin Telkom satu-satunya perusahaan di dunia yang menjalankan tiga program besar itu sekaligus dengan hasil yang sukses. Tak heran prestasi Telkom ini kemudian menjadi bahan kajian di Harvard University. Telkom memang akhirnya berhasil go public dengan dual listing yaitu menawarkan sahamnya di Wall Street (New York Stock Exchange) dan di Bursa Efek Jakarta (kini Bursa Efek Indonesia/BEI) meskipun menjadi BUMN kedua yang go public karena didahului Indosat. Meskipun begitu, kini Telkom menjadi satu-satunya perusahaan Indonesia yang masih listing di Wall Street dan BEI. Sudah begitu nilai saham Telkom sudah berlipat menjadi lebih dari 20 kali lipat dibanding saat IPO. Dari sisi sumbangan dividen, Telkom kini menjadi BUMN yang memberikan dividen terbesar pada Pemerintah. Dari mana keberanian Setyanto P. Santosa, penulis buku memoar ini, hingga berhasil meluluhkan keteguhan Pemerintah? Itulah kenapa buku ini menjadi menarik karena mengungkap catatan-catatan hidup penulis yang membentuk karakternya dan bagaimana ia mengatasi berbagai rintangan dalam perjalanan hidupnya. Perjalanan hidup Setyanto P. Santosa sendiri memang sangat berwarna. Lahir di Gombong, Jawa Tengah (1946), lalu dibesarkan di Bandung hingga kuliah. Ayahnya pensiunan tentara yang menjadi petani di Desa Bumiagung, dan demi masa depan anak-anaknya rela pindah ke Bandung alih profesi menjadi PNS agar anak-anaknya dapat menuntut ilmu. Untuk meringankan beban orangtua, Setyanto kecil rela mengorbankan waktu bermainnya untuk menjadi loper koran. Saat mahasiswa ia membantu kegiatan pemutaran film untuk membiayai kegiatan Menwa Mahawarman Yon II Unpad, tempatnya kuliah, dengan bolak-balik Bandung-Jakarta mengambil film agar ia bisa mendapatkan honor untuk menambah biaya hidup. Berbagai kesulitan itu justru menempanya menjadi sosok yang kuat, pekerja keras, ulet, pantang menyerah, berani, jeli, cerdik, pembelajar, dan juga “pendobrak”. Kuncinya adalah moto hidup dari sang ayah: Sama-sama makan nasi, kenapa harus kalah? Kalau orang lain bisa, kamu pun harus bisa. Moto itu terbawa di sepanjang kariernya hingga sejumlah dobrakan dilakukannya. Bayangkan, di tengah kekukuhan sejumlah pihak yang menganggap perusahaan teknologi harus dipimpin seorang ahli teknik, Setyanto yang ekonom justru berhasil saat menjadi Dirut PT INTI dan Dirut PT Telkom (Tbk.), dua BUMN yang padat teknologi. Ia juga menjadi bagian dari pionir pembangunan industri telekomunikasi Indonesia yang padat teknologi masa depan, mulai dari menyusun rancang-bangun organisasi pengelolaan proyek Telekomunikasi Nusantara (Telnus) yang meluncurkan satelit Palapa pada tahun 1970-an, hingga keukeuh mempertahankan keyakinannya bahwa GSM akan menjadi masa depan sistem seluler Indonesia, dengan mendirikan PT Telkomsel yang saat ini menjadi operator seluler terbesar di Indonesia. Kariernya sendiri tak kalah berwarna. Mulai dari jadi pegawai Pemda Cirebon, menata karier sejak staf hingga menjabat pucuk pimpinan di BUMN (Dirut PT INTI dan Dirut PT Telkom), menjadi Deputi Menteri BUMN, Direktur Utama Sahid Jaya Hotel, Kepala Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata RI, Sekretaris Jenderal Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, komisaris berbagai perusahaan, anggota MPR-RI, dan berlabuh sebagai dosen bersertifikat di Fakultas Ekonomi & Bisnis Unpad, almamaternya. Meskipun kariernya tampak mulus, sebenarnya berliku juga. Beberapa kali fitnah hampir menjatuhkannya dengan tragis, mulai dari isu korupsi hingga gerakan mosi tidak percaya sejumlah oknum petinggi organisasi industri pariwisata yang didalangi oleh oknum pejabat kementerian, hingga menyeretnya ke meja hijau. Namun, alih-alih jatuh di pengadilan, sengketa di meja hijau justru dimenangkannya dan membuat kariernya makin ”hijau”. Bagaimana Setyanto P. Santosa menghadapi warna-warni tantangan hidup itu? Buku ini jawabannya. Inilah pembelajaran hidup dari seorang Fast Learner.