Rekontruksi hak imunitas advokat dalam mewujudkan penegakan hukum berbasis keadilan
Ahyar Ari Gayo ; Muhaimin (editor) ; Mohd. Din (reviewer)
Tersedia di:
Deskripsi
Bibliografi : halaman 191-194 ; Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menjelaskan, bahwa advokat adalah setiap orang yang berprofesi memberi jasa hukum dan bertugas menyelesaikan persoalan hukum kliennya baik secara litigasi maupun non-litigasi. Jadi, tugas advokat adalah mengabdikan dirinya pada masyarakat sehingga dituntut untuk selalu turut serta dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia. Pemberian bantuan hukum oleh advokat bukan hanya dipandang sebagai suatu kewajiban an sich namun harus dipandang pula sebagai bagian dari kontribusi dan tanggung jawab sosial (social contribution and social liability) dalam kaitannya dengan kedudukan advokat sebagai officium nobile atas kewajiban pemberian bantuan hukum secara prodeo. Menurut pendapat beberapa ahli memberikan pengertian hak imunitas adalah hak imunitas advokat itu sebagai hak tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya. Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 26/PUU-XI/2013 Tentang Advokat telah memperluas hak imunitas/perlindungan bagi advokat ketika menjalankan tugas profesinya tidak hanya di dalam persidangan, tetapi juga di luar persidangan Jo Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor: 7/PUU-XVI/2018 kepada iktikad baik, yakni berpegang pada Kode Etik dan peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, berdasarkan syariat Islam, hukum ditegakkan bagi siapa pun yang melanggar dan tidak pandang siapa pun yang bersalah. Semua orang dipandang sama di muka hukum sesuai dengan prinsip equality before the law dan justice for all. Upaya untuk mencari kebenaran dan menegakkan keadilan tidak dikenal pilih kasih. Setiap orang yang bersalah mesti dikenai yang sesuai dengan tingkat kesalahannya. Demikian juga setiap orang yang merasa bersalah selalu menerima dengan ikhlas.