Catatan pinggir 13
Goenawan Mohamad (Pengarang) ; Uu Suhardi (Penyunting)
Tersedia di:
Deskripsi
indeks ; Sebuah resensi atau tinjauan biasanya dibuat untuk memperkenalkan sebuah buku baru kepada publik. Tinjauan dengan demikian akan mirip seperti iklan, terutama jika isinya serangkaian pujian. Tapi Catatan Pinggir tidak demikian, lebih dari sekadar tinjauan. Buku yang Goenawan kutip, Catatan Pinggir 13, merupakan catatan dan kutipannya, kenyataannya tidak selalu buku baru. Tak jarang, atau sering bahkan, buku yang lama. Esai ”Cebolang”, yang mengulas serat Centhini, dan ”Orasi”, yang mengingatkan pembaca nakan Wedhatama, mungkin bisa menjadi contoh. Melalui esai-esai ini, Goenawan seperti hendak membangkitkan dan mengingatkan lagi khazanah tua, sebuah buku, atau tepatnya serat, yang ditulis hampir dua abad lalu. Atau siapa yang masih ingat Salah Asuhan Abdul Moeis, seperti yang ia tulis dalam esai ”Han”? Meski, menurut Goenawan, novel tahun 1920- nan ini ”akan terasa kaku, alurnya alot, dan temanya tak terasa segar; tapi ia merekam sebuah suasana yang menyesakkan.”Apa yang dimaksud adalah kejamnya politik identitas yang ditancapkan kolonialisme dan jejaknya hingga kini. Dan pasti generasi sekarang tidak banyak yang tahu pernah ada buku Pak Bohong, terbitan Balai Pustaka tahun 1950-an, sebuah saduran terhadap karya Rudolph Erich Raspe yang terbit pada 1785. Tinjauannya pun bukan semata deskripsi apresiatif, tapi juga berisi pandangan yang sangat kritis. Esai ”Aletheia” adalah contoh yang kuat bagaimana Catatan Pinggir memperkenalkan pemikiran sejarawan Yuval Noval Harari dan bukunya yang tengah populer di jagat ini. Goenawan katakan Harari sebagai ”seorang positivis abad ke-18 yang dilahirkan kembali, dan terlambat” lantaran pemikiran tokoh ini seperti jelmaan belaka dari para pemikir positivisme yang meyakini sepenuhnya ilmu pengetahuan sebagai basis kebenaran.