“Saya menulis di zaman réaksi yang maha ganas, di bawah ancaman tangan besi Gobnor Jéndral Foch, yaitu sesudah gagalnya pemberontakan Garut, Cimaréméh, dan Silungkang (1926-27), sewaktu “selentingan ucapan yang salah” dapat membawa orang-orang ke Boven Digul dan Tanah Mérah, di masa rakyat penuh dibelukari oléh cecunguk-cecunguk dan mata-mata Belanda, di mana tempo-témpo sanak keluarga tiada ayal mau menghianati family sendiri untuk mendapatkan pangkat atau pujian dari
pihak penjajah!
(Roestam Effendi)”