Pelacur, politik, dan he he he
Tandi Skober (Pengarang) ; Syafruddin Azhar (Penyunting) ; Koesnan Hoesie (Ilustrator)
Tersedia di:
Deskripsi
Matahari menari di gemerlap emas Monas manise. Konon, itu simbol bola mata Indonesia. Dari runcing kuning yang menancap di langit-langi pucat Jakarta; banyak cerita terlahir dari lelehan ejakulasinya. Tiap kali, gemuruh rangkaian gerbong sepur memecah ruang mangmung sekitar Monas; selalu saja ada firasat terselip di dalamnya. “Siapa lagi yang akan menari di belantara politik Indonesia?” Mega mendung memang selalu memayungi Istana Negara. Selalu bermula dari ejakulasi emas Monas manise. Seperti pagi ini, ketika mega gagap menyergap Jakarta, lihatlah awan mendung itu bergerak memutari ribuan hari yang tidak pernah dicatat dalam album sejarah Indonesia. Awan mendung itu menjadi miliaran tetesan lendir yang jatuh satu demi satu. Jakarta menampungnya dalam mangkuk porselin halus. Dihidangkannya di atas tikar zikir di suatu pekampungan kumuh, pedih, dan menyakitkan! “Siapa yang mencuri mimpi Indonesia, ketika Jakarta menjadi air mata yang mati rasa?” Adakah itu ucapan aneh Sumi? Tidak jelas! Tetapi, dari sini, Sumi menapaki takdirnya. Sumi rasakan tarian ilalang bergerak begitu liar dalam jemari hatinya. Ada gerbong takdir yang meluncur di atas ribuan rel panjang berbelok-belok. “Ke mana gerbong ini diluncurkan? Di stasiun mana takdir Indonesia berganti lakon? Di jendela mana bisa kulihat lintasan nasib lembab Indonesia?” Adakah itu gelisah wajah Sumi? Tak jelas! Yang ada di mata Sumi adalah Jakarta yang terperangkap dalam stagnasi mimpi yang diciptakannya sendiri. Puluhan partai politik ‘bersenggama’ dengan impian aneh. Puluhan partai politik menjilati sisa “lendir kekuasaan” dari selangkangan raksasa bernama Pancasila!