

Transisi dan kandasnya konsolidasi demokratis pasca-Soeharto
Poltak Partogi Nainggolan (Pengarang)
Tersedia di:
Deskripsi
Bibliografi: halaman 405-424 ; Demokrasi telah menjadi pilihan dan diadopsi banyak negara berkembang yang telah lepas dari kolonialisme dan imperialisme. Sebagai alternatif, di luar sistem pemerintahan otoriter dipimpin rezim sipil dan militer, demokrasi telah dipilih sebagai solusi terbaik untuk membawa negara ke masa depan yang lebih baik. Secara rasional, demokrasi diadopsi untuk mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan yang dihadapi negara yang baru merdeka, di tengah-tengah perbedaan latar belakang agama, ras, etnik, bahasa, dan tingkat pendidikan. Demokrasi kemudian menjadi persoalan baru, karena munculnya instabilitas domestik yang dipicu konflik antarkelompok akibat hasil pembangunan yang tidak memuaskan di dalam sistem baru. Demokrasi lalu menjadi ancaman keamanan negara-negara baru karena kesejahteraan yang menjanjikan tidak kunjung tiba. Negara-negara baru menghabiskan biaya yang tinggi untuk pemilu, sementara pertumbuhan ekonomi tetap rendah dan kondisi ekonomi tidak kunjung membaik akibat pengangguran meningkat dan korupsi marak terjadi. Demokrasi yang mensyaratkan keterbukaan telah memunculkan imbas berlipat dalam bentuk krisis ekonomi yang lebih parah. Keterbukaan dan kebebasan yang menghidupkan demokrasi telah menciptakan radikalisme pemeluk agama dan anarkisme yang berujung pada instabilitas politik domestik. Kondisi buruk yang berkepanjangan membawa beberapa negara baru ke wilayah abu-abu dengan ketidakjelasan prospek demokratisasi mereka (Wolfgang Merkel, 2003). Hampir lima dasawarsa sesudahnya, Amartya Sen (1998) mendukung tesis Huntington melalui tesis empiriknya bahwa kemiskinan terus berlangsung akibat alokasi kewenangan politik (kekuasaan) yang tidak adil. Kondisi itu telah menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi dan kemiskinan. Karenanya, demokrasi harus menjadi solusi, agar bisa berlangsung pembagian kewenangan politik, hukum, dan kekuasaan yang memungkinkan dilakukannya alokasi sumber-sumber daya ekonomi melalui pembuatan kebijakan pro-rakyat banyak yang tingkat kesejahteraannya masih rendah. Di Milenium baru, para pemimpin negara dihadapkan pada pertanyaan, apakah mereka akan kembali ke titik awal, kembali mengaplikasikan sistem otoriter di bawah rezim sipil atau militer, ataukah tetap mempertahankan demokrasi sebagai pilihan terbaik yang relatif? Telah dipertanyakan, bisakah demokrasi melahirkan kembali kepercayaan masyarakat di banyak negara yang telah menjatuhkan pilihan padanya untuk menciptakan kesejahteraan ketika sinisme terhadapnya meningkat? Buku ini mengungkap perjalanan Indonesia yang rawan di masa transisi demokratis dan pergulatannya dalam mewujudkan konsolidasi demokratis yang tidak kunjung diraihnya.
Ulasan
Buku Terkait
Buku Rekomendasi Lainnya

Kiprah Islam
SUPRAYOGO, Imam ; MUZHOFFA, Aziz (ed).

Sejarah perempuan Indonesia : gerakan dan pencapaian
STUERS, Cora Vreede-De

SPT Elektronik, PPh Pekerja Ditanggung Pemerintah dan Bebas Fiskal
CASAVERA

Eksplorasi pouch rajutan
Ratri Astutiningtyas ; Septi R. (penyunting)

100 Kata Pertamaku : Lingkungan Sekitar
-

Panduan Sholat untuk Perempuan
; Mira Rainayati

Namaku Bukan Si Bodoh
Crary, Elizabeth (Pengarang)

Ilmu sosial dasar
Nita Muliawati

Membuat Gambar Real dan Abstrak dengan Photoshop CS4
-

Matematika itu mudah & menyenangkan SD kelas 1,2,3
Trija Fayeldi (Pengarang)

Afeksi
Zaka Bagas Wirawan (Pengarang) ; Intan Faradillah, (penyunting.)

Dari Gestapu ke Reformasi : Serangakian Kesaksian
Salim Said (Pengarang)

Star & Dust 2
Hoshiya Kaori ; Mustika Maria (alih bahasa) ; Nia Ikasary (editor)

Delapan Puluh Tahun melalui jalan raya dunia
Hasjmy A. (Pengarang)
