Gadis pesisir
Nunuk Y. Kusmiana (Pengarang) ; Sasa (Penyunting)
Tersedia di:
Deskripsi
“Kalau Kakak tidak cinta dia, kenapa Kakak mau kawin sama dia?” Wajah Halijah terangkat. Gadis cilik berusia empat belas tahun itu menoleh ke arah adiknya. Mata bagusnya menatap Ai dengan tatapan sayang. Di mata bagusnya kini terekam tangan Dus yang bengkak kemerahan dan bilur-bilur kebiruan akibat pukulan sapu lidi Ibu Jawa, Ai yang menangis keras akibat hinaan Mamak Nur karena kedapatan memakai celana dalam bekas Wening, juga mereka sekeluarga yang kerap makan bubur nasi encer yang tak mampu membuat kenyang siapa pun. Halijah mengerjapkan matanya, berharap bayangan itu segera lenyap dari pikirannya. Tapi, semakin keras ia berusaha, semakin nyata bayangan itu menghantuinya. Maka, dengan nada setenang angin sore itu, Halijah pun menjawab, “Kalau aku bisa membuat kita tidak lapar dengan menikahi laki-laki tua itu, tidak ada yang jelek dengan itu. Sama sekali tidak ada yang jelek.” Bercerita tentang kehidupan para pendatang di Kota Jayapura, Gadis Pesisir menampilkan keberagaman suku dan budaya masyarakat Indonesia pada awal 1970-an. Latar perkampungan nelayan dipilih sebagai usaha kritiknya atas perekonomian, pendidikan, dan kehidupan sosial masyarakat di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Halijah, gadis cilik berdarah Bugis yang merupakan tokoh sentral cerita, menjadi representasi kehidupan anak para nelayan miskin yang tergaris nasibnya dan terbatas pilihannya.