Dilema partisipasi lokal dalam pembangunan daerah hasil pemekaran : studi di daerah pemekaran
Defny Holidin (Pengarang) ; Desy Hariyati (Pengarang) ; Rilyan Shela Handini (Pengarang) ; Dinar Dwi Prasetyo (Pengarang)
Tersedia di:
Deskripsi
Bibliografi : halaman 111 ; Buku ini menganalisis temuan penelitian di lapangan dan hasil advokasi untuk inisiasi instrumen partisipasi masyarakat daerah di Kabupaten Bangka Barat dan Kabupaten Halmahera Selatan oleh pemerintah daerahnya masing-masing hasil pemekaran pada kurun usia 5-10 tahun. Pengambilan situs di daerah pemekaran menjadi menarik dengan memperhitungkan aspek ekologis yang juga bermasalah, selain secara geografis daerah pulau dan kepulauan tidak mudah memiliki akses bagi kerjasama dengan daerah lainnya untuk keperluan pembangunan. Analisis terfokus pada tingkat partisipasi masyarakat daerah yang rendah di era otonomi daerah yang seharusnya prinsip-prinsip desentralisasi terejawantahkan sedemikian rupa sehingga memberdayakan masyarakat lokal. Soft decentralization semacam inilah yang belum terwujud, ditambah dengan aspek hard-decentralization berupa kapabilitas pemerintah daerah dalam mengakomodasi tuntutan masyarakat daerah sedemikian minimal. Hasilnya dapat diperkirakan bahwa pembangunan daerah terhambat, bahkan bersifat kontraproduktif dari tujuan semula daerah tersebut dimekarkan. Dilema terjadi dalam partisipasi masyarakat daerah di kedua daerah kepulauan ini. Pemekaran daerah sejatinya mengandalkan partisipasi masyarakat lokal, dan tentu pemerintahan daerah yang baru memerlukan daya dukung masyarakatnya untuk pembangunan. Namun, ini tidak terjadi. Di Bangka Barat secara khusus, good faith Bupati untuk menertibkan partisipasi masyarakat melalui kegiatan ormas mungkin dapat diterima. Namun, merupakan kekeliruan akut jika hal ini diwujudkan melalui sertifikasi dan legalisasi tokoh masyarakat dan pelarangan ormas yang belum terdaftar di Kantor Kesbangpol Daerah untuk menjalankan fungsinya sebagai pressure groups. Di Halmahera Selatan, problem musrenbangda adalah hal umum terjadi di kebanyakan daerah otonom di Indonesia. Namun, menjadi miris ketika aspirasi masyarakat yang tertampung dalam musrenbangda justru pupus ketika masuk ke dalam pembahasan di forum SKPD. Pelbagai dilema inilah yang coba ditelaah dalam buku ini, baik dari sisi inisiatif masyarakat daerah maupun dari sisi kapabilitas pemda untuk membuka ruang bagi partisipasi lokal. Buku ini memperkuat kajian dalam bidang governance, khususnya deskripsi praktik good local governance di era otonomi daerah. Lebih lanjut, berbagai teori mengenai desentralisasi diuji dalam lapangan praktik di daerah kepulauan. Analisisnya yang menyorot praktik pemerintahan daerah pascapemekaran dapat menjadi masukan kebijakan mengenai penataan daerah otonom di Indonesia. Akumulasi hasilnya tentu signifikan bagi pengasahan akademik sekaligus revisi praktik pemerintahan daerah di Indonesia.