Studi tentang penerapan pasal gratifikasi yang dianggap suap pada undang-undang tipikor
Lalola Easter (Pengarang)
Tersedia di:
Deskripsi
Bibliografi: halaman 65-66 ; Penerimaan hadiah atau gratifikasi bukan hal baru di Indonesia. Beberapa orang menganggapnya sebagai kultur imperatif yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Banyak yang menganggap pemberian hadiah tersebut adalah sebuah kebiasaan dan kepatutan, terutama jika si penerima telah melakukan sesuatu yang dianggap membantu kepentingan pemberi. Pasal gratifikasi yang dianggap suap kemudian dirumuskan sebagai respon atas perilaku pegawai publik yang kerap menerima hadiah atas pelayanan yang dilakukannya.Yang perlu diwaspadai dari bentuk-bentuk pemberian seperti ini adalah upaya tanam budi yang dapat ditagih di kemudian hari. Selain itu, semangat pembentukan pasal ini adalah untuk menjerat pegawai publik yang memiliki kekayaan yang tidak sesuai dengan profil pendapatan resminya.Itulah mengapa ada kewajiban pembalikan beban pembuktian bagi penerima gratifikasi. Kajian dengan judul, “Penerapan Pasal Gratifikasi yang Dianggap Suap dalam Undang-Undang Tipikor” ini dilakukan untuk mencari tahu permasalahan penerapan pasal gratifikasi yang dianggap suap pada Undang-Undang Tipikor. Berdasarkan permasalahan tersebut, kajian ini juga sekaligus merumuskan alternatif pasal gratifikasi yang dapat dijadikan masukan dalam Perumusan RUU Tipikor sebagai rekomendasinya. ICW bersama YLBHI dan LBH Surabaya melakukan serangkaian kegiatan dalam mengkaji hal ini.