Biologi terapan untuk masa depan & kemajuan bangsa
Jatna Supriatna (Penyunting)
Tersedia di:
Deskripsi
Peningkatan pesat jumlah populasi dunia mengharuskan kebutuhan dasar manusianya akan pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikannya dipenuhi pemerintah negaranya masing2. Untuk itu disadaplah sumber daya alam sekitar, yang sayangnya telah dieksploitasi secara rakus dengan mengerahkan kedigdayaan ilmu dan teknologi. Sebagai akibatnya tiga puluh jutaan jenis makhluk kalah bersaing melawan manusia yang hanya merupakan satu jenis di antaranya. Secara menakutkan rusaklah keseimbangan alam dan terancam punahlah kelestarian keberadaan makhluk. Biologiwan dunia yang merasa bertanggung jawab lalu memobilisasi segala kemampuannya untuk mengatasi ancaman krisis, antara lain dengan mengadakan gerakan sejagat mengonservasi jenis makhluk ekonomi yg dibutuhkannya, memanfaatkan plasma nutfah memuliakan kultivar padi dan jagung ajaib, meretorasi lingkungan dengan merekayasa genetika makhluk, serta melibatkan bioteknologi menjaga keberagaman hayati. Kemampuan mengotak-atik gen memungkinkan penyisipan gen ikan kutub pada kromosom tomat sampai bisa ditanam di Canada. Melalui kultur jaringan biologiwan sekarang sudah bisa menumbuhkan daging sapi dari satu sel (yang hasilnya sudah "dihalalkan" para pemuka agama Israel). Proses pembuatan madu oleh tubuh lebah sudah berhasil disimulasi dalam tabung laboratorium. Namun ketidakmampuan lebah pulang sarang oleh rusaknya rute homing oleh perubahan iklim dan pemanasan global tetap merisaukan, karena penyerbukan 30% tanaman budi daya bergantung pada serangga. Buku Biologi Terapan yang diramu dan diracik oleh Prof. Jatna Supriatna, akademisian AIPI, ini menyajikan bunga rampai tulisan buat memaparkan vista pengalaman, peran, pikiran, dan gagasan sekumpulan biologiwan Indonesia tentang potensi sumbangan ilmunya, untuk menunjukkan bahwa ilmu tentang kehidupan yang ditekuninya sebenarnya terus ‘hidup’ walau kurang mendapat perhatian. Kita bersusah payah melestarikan badak bukan karena ingin memanfaatkan culanya, sebab ekowisata menyaksikan keindahan tari gandrung burung cendrawasih bisa menghasilkan devisa melimpah. Sejarah memang sudah membuktikan bahwa melalui cultuurstelsel, pemerintah kolonial Belanda tempo doeloe pernah meraup keuntungan amat besar dari gula, kina, sawit, tembakau, karet, dan juga nila ('het blauwe zweet van de Javaan' -- keringat biru orang Jawa) karena mereka mengerahkan florakrat yang terkumpul di Bogor. Oleh karena itu diharapkan semoga birokrat di jajaran pemerintahan Indonesia masa kini akan terinspirasi untuk memberdayakan para biokrat ini.