Sosiologi garam : deindustrialisasi, perlawanan, dan nasib petani di Madura
Iskandar Dzulkarnain (Pengarang) ; Ragil Cahya Maulana (Penyunting)
Tersedia di:
Deskripsi
Bibliografi: halaman 247-264 ; Sepanjang 150 tahun produksi garam di Madura, khususnya Sumenep, selama itu pula para petaninya berjuang melawan mendapat tempat sentral dalam “perbudakan”-istilah yang dialami mereka selama menjadi buruh garam dari generasi ke generasi. Sempat menjadi produsen utama kebutuhan garam dunia pada awal abad ke-20, kini komoditas garam Madura berada di kaki langit senja. Industrialisasi garam warisan pemerintah Hindia Belanda yang terus dilestarikan oleh pemerintah Indonesia dari Orde Lama hingga Reformasi melalui kebijakan kontrol produksi, pachtstelsel, zoutregie, dan monopoli itu telah melahirkan perlawanan panjang dari petani mereka sendiri dalam rupa-rupa cara: dengan kata dan tindakan; secara terbuka maupun diam-diam; individual dan kolektif; lokal dan regional; insidental dan struktural; dengan damai dan dengan kekerasan. Meskipun pada kenyataannya tidak berhasil, perlawanan tersebut berdampak besar pada terjadinya deindustrialisasi yang bukan hanya memerosotkan produksi garam, melainkan juga menciptakan formasi sosial masyarakat pegaraman yang marginal, miskin, dan rentan karena ketegangan terus-menerus dengan pemerintah yang tidak pernah memberikan keberpihakannya.