Daun yang jatuh tak pernah membenci angin
Tere Liye (Pengarang)
Tersedia di:
Deskripsi
Daun Yang Jatuh Tak Pernah membenci Angin Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku, adikku, dan Ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa. Memberikan makan, tempat berteduh, sekolah, dan janji masa depan yang lebih baik. Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami Memberikan kasih sayang, perhatian, dan teladan tanpa mengharap budi sekali pun. Dan lihatlah, aku membalas itu semua dengan membiarkan mekar perasaan in. Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga katni. Tak pantas. Maafkan aku, Ibu Perasaan kagum, terpesona, atau entahlah itu muncul tak tertahankan bahkan sejak rambutku masih dikepang dua. Sekarang, ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah menganggapku lebih dari seorang adik yang tidak tahu diri, biarlah... tharlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun.. daun yang tidak pernah membenci angin meski harus terenggut kan dari tangkai pohonnya. Dan tahukah kalian, saat kami naik bus yang sama untuk pu lang seperti kemarin malam, seseorang itu berada di sana. Mene gur kami. Tersenyum. Seolah-olah sudah menunggu. Dia mengeluarkan dua kotak. Melambaikan tangan meminta kami mendekat. Aku dan Dede melangkah ke arahnya, berdiri di depan kursinya, urung memulai pertunjukan kencrengan tutup botol. Dede malah memasukkan "alat musik" ke saku celana. Lagi-lagi menguap. Kotak itu ternyata berisi dua pasang sepatu baru. "Pakailah!" Aku menatapnya ragu-ragu. Adikku Dede sudah sejak tadi merengkuh sepatu itu dengan tangannya. Penumpang lain menatap kami tertarik. Dia hanya membalas tatapan penumpang lain dengan senyuman. "Ayo, pakailah...." Aku menurut. Duduk jongkok memakai sepatu tersebut. Gemetar tanganku mengenakan kaus kaki. Berkali-kali gagal mengikatkan tali sepatu. Sudah lupa. Dia membantu Dede. Aku melirik menirunya. Lucu sekali melihat penampilan kami malam itu. Pakaian yang robek dan kumuh, rambut dekil dan kotor, badan hitam yang bau, memakai sepatu mahal dan kaus kaki putih bersih. Tetapi Dede tidak peduli. Adikku mematut-matut kakinya dengan bangga. Membuat lajur tengah bus layaknya catwalk. Dia tersenyum. Aku dan adikku malam itu tidak jadi pengamen di bus kota tersebut. Sepanjang sisa perjalanan lebih banyak dihabiskan berbincang dengannya.