Ara, nama panggilan Mutiara, biasa hidup sebagai orang yang serba kecukupan. Sekolah pun dijemput pakai mobil. Ayah ibunya pun masih lengkap menemani hidupnya dalam hari-harinya. Suatu ketika ayah-ibu Ara bercerai. Ara kehilangan pegangan dan murung. Berkat persahabatannya dengan keluarga Fatimah yang amat shalehah meskipun tak lagi punya ayah, keceriaan Ara bangkit kembali. Karena pergaulan dengan keluarga Fatimah inilah, Ara jadi lebih dewasa, memiliki angan-angan yang baik, ingin berbakti kepada kedua orangtuanya, meskipun kedua orangtuanya telah bercerai. Ia merasa seharusnya lebih bersyukur, ayah ibunya masih dapat ditemui. Ia harus lebih baik dari orang lain yang lebih menderita, yang tak lagi dapat berjumpa orangtuanya.