Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara Di Lingkungan Peradilan Agama
-
Tersedia di:
Deskripsi
Khazanah perundang-undangan kita mengenal adanya empat lingkungan peradilan yang salah satunya adalah lingkungan peradilan agama. Eksistensi lembaga ini bukan sebagai identitas negara Islam, juga bukan karena komunitas Muslim sebagai warga negara mayoritas di negeri ini, melainkan karena dia merupakan kebutuhan masyarakat Muslim dalam penegakan hukum Islam. Karena itu, dia bukan lembaga keagamaan, melainkan sebagai lembaga yudisial. Dalam kondisi sistem hukum dan ketatanegaraan yang bagaimanapun dalam rangkaian sejarah hukum di Indonesia, lembaga ini senantiasa ada dan hidup sesuai dengan keadaan masyarakat dan tuntutan zamannya. Walaupun keberadaan lembaga ini baru diformalisasikan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1882, tetapi kehadirannya di nusantara sudah berlangsung jauh sebelum itu karena cikalbakalnya telah lahir bersamaan dengan masuknya Islam ke wilayah ini. Tapi sayang, lembaga yang demikian tua dan dibutuhkan masyarakat itu, mendapatkan perlakuan yang tidak pada tempatnya (marjinalisasi) dan perlakuan demikian bukan saja terjadi pada masa kolonial, tetapi juga merembet sampai pada masa pascakemerdekaan. Lembaga ini dibiarkan berada dalam keadaan kalau meminjam konstatasi Prof. DR. Bustanul Arifin, S.H. seperti kerakap tumbuh di batu, la yahya wala yamutu, wujuduhu kaadamihi, hidup segan mati tak mau, adanya sama dengan tiada. Setelah mengalami proses marjinalisasi yang demikian panjang, akhirnya peradilan agama mendapatkan juga wadahnya, yakni Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Kelahiran undang-undang ini sebagai lompatan besar, yang dari segi perundang-undangan merupakan lompatan seratus tahun dan dari segi hukum substantif sebagai lompatan seratus windu. Selain membicarakan eksistensi dan sejarah, buku ini juga membicarakan soal cara beracara yang bersumber pada undang-undang bersangkutan dan dikaitkan pula dengan peraturan perundangan-undangan lainnya.