Kewenangan peradilan perdata atas perkara pertanahan terkait sertifikat tanah

Kewenangan peradilan perdata atas perkara pertanahan terkait sertifikat tanah

Moch. Iqbal (Pengarang)

Hukum Agraria -- Hukum Perdata
Detil Buku
Edisi Edisi pertama
Penerbit Jakarta : Kencana, 2021; © 2020
Deskripsi Fisik xvi, 132 halaman ; 20,5 cm.
ISBN 9786232187900
Subjek Hukum Agraria -- Hukum Perdata
Bahasa Indonesia
Call Number KC/333.332 MOC k
Deskripsi
bibliografi : halaman 117-119 ; Cetakan ke-1, Januari 2021 ; Peneliti Puslitbang MA Moch. Iqbal dalam paparannya menjelaskan menurutnya saat ini perkara pertanahan yang sudah diperiksa di peradilan perdata menyangkut perkara hak kepemilikan mewajibkan penggugat untuk dapat membuktikan kepemilikannya dengan sertifikat, setelah itu berdasarkan pada BPN mereka masih perlu menggugat untuk pembatalan gugatan di peradilan tata usaha negara untuk pembatalan. “Hal ini membuktikan bahwa peradilan di Indonesia tidak sederhana, cepat dan murah lagi,” ungkapnya. Iqbal menjelskan tujuan penelitian ini sendiri adalah mengkaji bagaimana tindak lanjut atas putusan terkait pertanahan yang sudah berkekuatan hukum tetap di pengadilan negeri, bagaimana BPN dalam menindak lanjuti putusan sengketa pertanahan di pengadilan negeri yang sudah berkekuatan hukum tetap dan bagaimana pemecahan permasalahan dari sudut pandang praktisi dan akademisi mengenai sulitnya dalam melakukan eksekusi terhadap putusan sengketa pertanahan? Iqbal menambahkan saat ini terdapat 3 badan yang mempunyai kewenangan dalam penyelesaian perkara sengketa pertanahan, yaitu peradilan perdata yang berwenang untuk menguji hak keperdataan seseorang, PTUN yang berwenang mengadili dan memerika sertifikat, dan peradilan agama yang berwenang untuk mengadili tentang kewarisan hukum islam Narasumber lainya Dr. H. Prayitno Iman Santoso menjelaskan peraturan-peraturan hukum yang berkaitan dengan kompetensi khusus persoalan tanah bertentangan dengan asas hukum acaranya di mana persidangannya bersifat sederhana, cepat dan biaya ringan. “Tinjauan komparatif, penyelesaian perkara yang meliputi 2 kompetensi bisa disatukan, hal ini sudah diatur dalam Pasal 98 sampai 100 KUHAP,” ungkapnya. Menurutnya agar penyelesaian perkara pertanahan dapat sesuai dengan asas hukum acara.Harus ada jalan keluar bangun yurisprudensi, hakim memiliki wewenang untuk menggali dan mengikuti rasa keadilan masyarakat diluar dari normatif untuk menemukan hukum yang mewujudkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan dengan mengesampingkan kompetensi peradilan mengadili kepemilikan tanah dan sekaligus menetapkan status hukum bukti kepemilikan tanah Sementara narasumber lainnya Suhardi menjelaska dalam proses pendaftaran tanah ada proses ajudikasi di dalamnya yang sudah ditelaah dan diteliti dan terdapat berbagai aspek, karena esensi dari sebuah keabsahan sertifikat menurut dunia akademis ada 3, yaitu kebenaran tanahnya, kebenaran buku tanahnya, dan kebenaran gambar ukurnya. Proses ajudikasi melibatkan pemerintahan paling bawah yaitu desa, persoalan yang timbul adalah uji materil yang ada di tata usaha negara tidak sampai kepada desa, karena khususnya di Kalimantan Barat, pada saat uji materil pada tata usaha negara hanya sebatas dari BPN lalu pendaftaran dan produk akhir yang berbentuk sertifikat tetapi tidak menyentuh kepada akarnya. “Banyak kepala desa di daerah kecil tidak memahami tentang mana tanah yang menggunakan pasal 23 dan mana tanah yang menggunakan pasal 24 PP No. 24 tahun 1997,” ungkap Suhardi.
Pinjam Buku Ini
Buku ini dapat dipinjam/dibaca di:
Koleksi belum dapat dipinjam atau dibaca di tempat