Islam dan radikalisme di Indonesia
Afadlal (Pengarang) ; Awani Irewati (Pengarang) ; Dhurorudin Mashad (Pengarang) ; Dundin Zaenuddin (Pengarang) ; Dwi Purwoko (Pengarang) ; Endang Turmudi (Pengarang) ; Muhamad Hisyam (Pengarang) ; Riza Sihbudi (Pengarang)
Tersedia di:
Deskripsi
Bibliografi: halaman 295-301 ; Indeks: halaman 303-317 ; Dalam beberapa tahun terakhir ini, selain demokratisasi dan hak-hak asasi manusia (HAM), diskursus yang muncul ke permukaan dalam khasanah politik domestik maupun internasional, khususnya yang berkaitan dengan persoalan religio-politik, adalah mengenai “kebangkitan” Islam politik, seperti merebaknya fenomena “radikalisme” Islam. Dalam sejumlah literatur, istilah Islam politik, radikalisme atau neo-fundamentalisme atau revivalisme Islam memiliki tafsiran yang sulit untuk dibedakan satu sama lain. Istilah radikalisme umumnya dipakai—baik oleh kalangan akademisi maupun media massa—untuk merujuk pada gerakan-gerakan Islam politik yang berkonotasi negatif seperti “ekstrim, militan, dan non-toleran” serta “anti-Barat/Amerika.” Bahkan sejak dikumandangkannya genderang perang melawan terorisme oleh Presiden AS George W. Bush pascaserangan 11 September 2001, istilah radikalisme dan fundamentalisme dicampur-adukkan dengan terorisme. Ironisnya, tak jarang pulacap fundamentalisme diberikan kepada semua orang Islam yang menerima Qur’an dan Hadis sebagai jalan hidup mereka. Dengan kata lain, “kebanyakan dari penegasan kembali agama dalam politik dan masyarakat tercakup dalam istilah fundamentalisme Islam” (Esposito, 1994).