Penguatan fungsi legislasi dewan perwakilan daerah
Anak Agung Dian Onita (Pengarang)
Tersedia di:
Deskripsi
bibliografi halaman 201 ; Lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai perwujudan representasi kepentingan seluruh rakyat dan dalam rangka mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bicameral). Dengan struktur dua kamar itu diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem “double check” yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat. Kewenangan DPD yang sangat terbatas di dalam konstitusi dan peraturan perundangan membuat DPD mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi melalui Perkara Nomor 92/PUU-X/2012. Putusan 92/PUU-X/2012 telah mengembalikan kewenangan legislasi DPD yang setara dengan DPR dan Presiden dalam mengajukan rancangan undang-undang. Namun, hingga saat ini belum ada realisasi dari putusan tersebut. Termasuk saat revisi Undang-Undang 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang tanpa mengadopsi usulan DPD dalam hal penguatan fungsi legislasinya. Bahkan hingga revisi tersebut disahkan, tetap saja usulan DPD tersebut diabaikan. Buku ini memaparkan upaya penguatan fungsi legislasi DPD Pasca Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yaitu melalui amandemen kelima konstitusi dan operasional penataan lembaga serta meningkatkan kemampuan para anggota. Perbandingannya dengan Negara Afganistan, Aljazair, Filipina, Mauritania, Myanmar dan Tajikistan, serta bagaimana hubungan yang ideal antara kedua kamar tersebut dalam melaksanakan fungsi legislasi terlihat bahwa tidak ada kamar kedua yang mengesahkan RUU dan tidak ada kamar yang dibatasi dalam hal mengajukan RUU tertentu kecuali Indonesia, namun apabila terdapat perbedaan pendapat antara kedua kamar maka terdapat mekanisme forum penyelesaiannya.