Ambiguitas profesi jaksa dalam rumpun aparatur sipil negara
Asep N. Mulyana (Pengarang)
Tersedia di:
Deskripsi
bibliografi halaman 237 ; Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara secara merdeka terutama dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan di bidang penuntutan, penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi dan Pelanggaran HAM berat serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kejaksaan sebagai Penuntut Tertinggi dalam sistem hukum di Indonesia, menjalankan kewenangannya dengan prinsip dominus litis atau sebagai pengendali perkara, artinya hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak, berdasarkan alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana. Hal tersebut menempatkan Kejaksaan dalam posisi yang strategis dalam integrated criminal justice system. Jika ditelaah lebih lanjut berdasarkan tugas dan fungsinya, Kejaksaan memiliki ciri khas tertentu yang berbeda dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) lain. Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang menyebutkan bahwa Aparatur Sipil Negara adalah pegawai negeri sipil, dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Jaksa adalah Pegawai Negeri Sipil, sehingga Jaksa masuk dalam Aparatur Sipil Negara dan tunduk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Namun, menempatkan Kejaksaan dalam rumpun Aparatur Sipil Negara menjadi kontraproduktif terhadap upaya penguatan lembaga penuntut umum tertinggi di Indonesia ini.