Masakan sepanjang zaman : bunga rampai seni rupa baru 1975-1989
Siregar, Aminudin T. H. (Pengarang) ; Flores, Patrick D. (Pengarang) ; Nuraini Juliastuti (Pengarang) ; T. K. Sabapathy (Pengarang) ; Haruko Kumakura (Pengarang) ; Brigitta Isabella (Pengarang) ; Syafiatudina (Pengarang) ; Bambang Bujono (Pengarang) ; Hendro Wiyanto (Pengarang) ; Rani Elsanti Ambyo (Penerjemah) ; Ratih Sukma (Penerjemah) ; Ratna Mufida (Penerjemah) ; Hyphen (Penyunting)
Tersedia di:
Deskripsi
Alih-alih sekadar menggaungkan kembali pemberontakan dan pembaharuan yang digebrakkan oleh Seni Rupa Baru pada era 1970-1980an, pendekatan dan sudut pandang yang diambil oleh para penulis di dalam buku ini secara khas justru mencerminkan kecenderungan yang sedang berlangsung di dunia seni rupa hari ini. Pembacaan atas fenomena kemunculan Seni Rupa Baru adalah pintu masuk untuk mempelajari kisah perjalanan sejarah pemikiran dan praktik seni rupa dalam perspektif dan konteks lokal Indonesia. Kita bisa melihat bagaimana para penulis berusaha menggali sumber-sumber pemikiran dari Indonesia sendiri untuk membaca dan menafsirkan gejala-gejala, fenomena, ataupun peristiwa yang terjadi di seputar Seni Rupa Baru. Kita bisa mendengar, bagaimana pemikiran-pemikiran yang disuarakan oleh para seniman maupun kritikus seperti S. Sudjojono, Oesman Effendi, Trisno Sumardjo, Srihadi Soedarsono, Fadjar Sidik, Sanento Yuliman, Jim Supangkat, Toeti Heraty, Nashar, Zaini, dkk., tidak secara tergesa-gesa diasosiasikan dengan konsepsi-konsepsi maupun praktik-praktik seni yang dikanonkan sejarah seni rupa Barat. Pendekatan semacam ini sejalan dengan meningkatnya ketertarikan para akademisi dan sejarawan seni menggali dan menuliskan sejarah seni dari luar Barat sepanjang kurun waktu dua dekade terakhir—setidaknya sejak semangat regionalisme “baru” dikobarkan oleh bienale/trienale baru di berbagai belahan dunia, seperti Fukuoka Asian Art Festival (kemudian menjadi Fukuoka Asian Art Triennale) Australia and Regions Exchange (ARX), Asia Pacific Triennial (Australia), Singapore Biennale, Biennale Jogja Seri Khatulistiwa, dan Jakarta Biennale.