Dan Burung-Burung Pun Pulang Ke Sarangnya
Mashdar Zainal
Tersedia di:
Deskripsi
Bencana gempa yang memorak porandakan Yogyakarta pada tahun 2006, menyimpan banyak kisah dan kepiluan. Roman sederhana ini hanya sedikit tamsil dari ribuan kisah yang luluh lantak. Di mana cinta menjelma sesuatu yang sangat sulit untuk dieja kecuali oleh hati yang penuh ketulusan. Bagi Milati, cinta tak ubahnya garis waktu yang dimulai selepas subuh. Kehidupan menggeliat, kisah-kisah berakrobat dan kemudian berkarat menjadi kenangan. Sepanjang siang ia telah hidup dengan dirinya dan ujar hatinya. Sepanjang perjalanan menuju senja, ia telah bertemu dengan banyak orang yang sebagian menjauh, dan sebagian lagi mendekat dan melekat di kedalaman hatinya. Ibarat garis waktu, yang butuh banyak pengorbanan untuk menapakinya. Seperti Misas. Seperti Hurin. Seperti cintanya. Bagi Misas, cinta adalah sungai tanpa jembatan, meski ia jernih dan tampak bersahabat dengan para dahaga, untuk melewatinya tidaklah mudah. Sungai itu tak sejernih dan sekarib kelihatannya, ia begitu dalam dan penuh misteri. Jika ia terlampau gegabah mendekatinya, ia akan tenggelam dan berakhir dalam keheningan dan kedinginan. Ibarat sungai yang butuh jembatan untuk menyeberanginya, terkadang beberapa orang begitu rela mengorbankan dirinya. Seperti Milati. Seperti Hurin. Seperti cintanya. Bagi Hurin, cinta adalah seruas jalan gelap yang harus ditempuh. Hanya ada satu lampu di depan sana, lampu yang remang-remang di kejauhan. Supaya tak tersesat, ia harus tertatih-tatih mengikutinya. Bagaimanapun seruas jalan itu memiliki kelokan dan jurang-jurang yang menjerumuskan. Ibarat seruas jalan yang butuh diikuti dengan langkah pelan dan hati-hati, beberapa orang terkadang begitu terburu ingin cepat sampai dengan caranya. Seperti Misas. Seperti Milati. Seperti cintanya.