JAKLITERA sudah ada versi mobile lho! Unduh

BACA JAKARTA I

5 Februari 2023 - 20 Februari 2023
Triwulan 1

12401

Partisipan saat ini

0

Partisipan diundang

Deskripsi

Yuk, ikutan Tantangan Baca Jakarta selama 14 hari. Sebuah tantangan membaca untuk masyarakat semua usia yang tinggal di Jakarta maupun luar Jakarta. Bergembira bersama sambil mencerdaskan masyarakat DKI Jakarta, juga Indonesia.

Dari tanggal 5 - 18 Februari kita bersama-sama membaca sekaligus beraktivitas literasi di mana pun dan kapan pun.

#DenganBacaKitaBisa #SalamLiterasi

 

Lihat tutorial Baca Jakarta 2023 di sini: Tutorial Baca Jakarta

Bagikan event ini:

Aktivitas Peserta

Mulyani
Mulyani
2 tahun yang lalu

Judul:Malin kundang Menceritakan : Tentang anak yang merantau meninggalkan orangtuanya setelah balik ke asalnya dan ia sudah menikah ia lupakan ibunya dan tidak menganggap ibunya lagi , karena ia malu mempunya ibu yang dekik dan jelek dari situ ibunya mengutuk anak nya dengan batu dengan cara berdoa kepada Allah sambil menangis , anknya pun lama lama wujudnya menjadi batu dan sambil menangi. SEKIAN CERITA AKHIR PEKAN SAYA MAAF JIKA ADA KESALAHAN WASALAMUALAIKUM WR WB

Aprilia azzahra
Aprilia azzahra
2 tahun yang lalu

di jodohin penulis ariniimandasari, Aku sangat happy dengan cerita nya

Aisyah Izza Humairah
Aisyah Izza Humairah
2 tahun yang lalu

spot yang saya suka yaitu, di teras rumah karena suasana nya sejuk,tenang dan nyaman

Muhammad Farhan jamil
Muhammad Farhan jamil
2 tahun yang lalu

Judul buku : Kisah Wali Songo Penulis : Baidlowi Syamsuri Yang saya rasakan setelah membaca buku ini saya merasa lebih tergugah untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

Bella Rahmawati
Bella Rahmawati
2 tahun yang lalu

Novel yang saya baca hari ini tentang arwah. penulis: jounatan yang saya rasakan saat membaca novel arwah adalah keseraman dan penasaran akan arwah yang sedang bergentayangan .

Anggia Hana Evelyn Pestaria Marbun
Anggia Hana Evelyn Pestaria Marbun
2 tahun yang lalu

Buku yang saya baca hari ini adalah buku yang berjudul "Gesture", penulis buku tersebut adalah Zaka Putra Ramdani. Yang saya rasakan setelah membaca buku tersebut adalah saya merasa bahwa betapa pentingnya untuk mengerti gesture tubuh seseorang agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap sikap atau perilaku orang lain.

Aulia Ragil Putri Herawati
Aulia Ragil Putri Herawati
2 tahun yang lalu

Perpusjkt_pusat

ASHA
ASHA
2 tahun yang lalu

Judul = Sayonara, Manga Penulis = Karasuhibari / Viyanriri Setelah membaca buku ini, aku jadi lebih menghargai buku, dan aku mengerti membuat buku sangatlah sulit karena perlu memikirkan banyak aspek

Lizza Novrida
Lizza Novrida
2 tahun yang lalu

1. Judul : “Tan Malaka, Dari Penjara Ke Penjara Bagian Satu” penulis: Tan Malaka diterbitkan: pada cetakan pertama oleh Pustaka Murba (Yoyakarta), cetakan kedua oleh TePLOK Press, pada bulan dan tahun terbit: Juli – 2000, jumlah halaman awal xi dan halaman akhir 303, dan nomor ISBN: 979-95888-2-0 dan 979-95888-3-9. Di dalam penjara Ponorogo, pada bulan September 1947, Tan Malaka menulis kata pengantar untuk jilid pertama autobiografinya Dari Penjara ke Penjara, yang baru terbit pada bulan Juni 1948 dalam bentuk stensilan. (kata pengantar penerbit untuk penerbitan ini tertanggal Solo, 17 April 1948. Murba, 18-6-1948) memberitakan penerbitan ini. Versi pertama sudah terbit antara bulan April dan Juni 1948. Banyak teman seperjuangan diluar dan didalam penjara yang mengusulkan, supaya Tan Malaka menuliskan sejarah hidupnya. Kata Tan Malaka, agar pengalaman yang dialami dapat dijadikan pelajaran para pahlawan kemerdekaan sekarang dan di hari depan. Baru setelah satu bulan sampai dua bulan Tan Malaka putuskan untuk menerima usul itu. sebelumnya itu, Tan Malaka tidak memandang perlunya usulan tersebut. Alasan pertama tidak memandang perlu menerima usul tersebut ialah karena banyak pekerjaan lain yang jauh lebih penting daripada melukiskan sejarah hidup diri sendiri. Pekerjaan yang lain itu harus dikerjakan dengan cepat dan dengan penuh perhatian. Alasan kedua ialah karena menuliskan sejarah hidup selama lebih dari setengah abad yang banyak turun naik, ialah penuh dengan up and downs, yang mengandung lebih banyak ‘down’ dari pada ‘up’nya bukanlah suatu pekerjaan yang dapat disambilkan begitu saja. Alasan terakhir, yang tidak kurang pentingnya pula, ialah karena keadaan diri Tan Malaka sendiri. Kehilangan kemerdekaan yang sudah pasti disertai oleh hari depan yang tidak pasti, ditambah pindah-pindahan tempat kian kemari tak tertentu, acapkali di tempat yang tak mengizinkan tulis menulis. Selanjutnya berhadapan dengan kemungkinan, apa yang dituliskan itu kelak akan disita, dijadikan alasan ini dan itu sebagai bahan fluister-campagne (kampanye bisik-bisik) lawan yang tidak fair (adil). Karena pertimbangan yang demikian ini, maka mulanya sejarah Tan Malaka hendak diserahkan kepada sang penulis sejarah. Tetapi setelah di penjara Magelang Tan Malaka mendapat sel yang sunyi senyap tak bercampur dengan para tawanan lain, dan mendapat kertas, potlod dan meja buat menulis, maka timbulah pikiran untuk menulis, meskipun cuma buat mengisi waktu saja. Apa yang ditulis kelak boleh dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya: tak lebih dan tak kurang, oleh ahli sejarah bahwa beberapa orang yang akan menulis tentang Tan Malaka akan sama dengan yang ditulis oleh Tan Malaka disini, kelak boleh dicari dan ditanya oleh mereka yang berkeinginan menulisnya bahwa tidak jauh dengan yang dicerita Tan Malaka sendiri. Kalau tidak cocok benar, bukanlah terletak pada kemauan, melainkan pada kesilapan sebagai manusia atau pada sifatnya memory, ialah peringatan. Apa yang dituliskan itu hanya sebagian saja dari pada sejarah hidup Tan Malaka. Berdasarkan bagian tersebut Tan Malaka, menganggap bukan bahagian yang kurang penting, karena rapat perhubungannya dengan usaha saya melakukan hasrat kemerdekaan dalam arti politik dan ekonomi. Bahagian hidup itu Tan Malaka pusatkan pada beberapa penjara. Berhubung dengan itu sepatutnya pulalah sekitar tiap-tiap penjara itu diberi penerangan. Begitulah, maka tiap-tiap penjara itu diterangi oleh keadaan sebelum, sedang dan sesudahnya Tan Malaka masuk penjara. Demikianlah berturut-turut Tan Malaka riwayatkan sebelum, sedang dan sesudahnya sewaktu dipenjarakan di Hindia Belanda, Philippina, Hongkong dan di Republik Indonesia. Mungkin bukunya terbagi menjadi tiga jilid. Kalau begitu maka jilid pertama hanya meriwayatkan sekitar penjara Hindia dan Filipina. Usaha Tan Malaka mendapatkan kewajiban menuntut kemerdekaan rakyat Indonesia dan Tan Malaka sendiri nyata mendapat halangan keras dari Imprialisme Belanda, Amerika dan Inggeris. Bagi Tan Malaka, hal itu tak mengherankan dan tak mengecilkan hati. Sebaliknya Tan Malaka merasa gembira menyaksikan hebatnya perjuangan rakyat Indonesia di masa Imperialisme Internasional. Tan Malaka percaya pula, jika kelak semua halangan itu sekali terpelanting dan kemerdekaan 100% tercapai, maka pada saat itu akan terjaminlah kesentosaan, kemakmuran dan kebahagiaan rakyat Indonesia yang merdeka itu. semua kodrat lahir dan batin yang dibangunkan dan diperoleh guna melemparkan semua halangan itu, kelak akan menjelma menjadi kodrat pembangunan dan pelindung dalam segala2nya. Semakin banyak kodrat itu diperlukan dan diperoleh, semangkin teguh jaminan buat hari depannya rakyat Indonesia. Buku ini diberi nama oleh Tan Malaka dengan “Dari Penjara ke Penjara”. Memang Tan Malaka rasa ada perhubungan antara Penjara dengan Kemerdekaan Sejati. Barang siapa sungguh menghendaki kemerdekaan buat umum, segenap waktu ia harus siap sedia dan iklas buat menderita “Kehilangan Kemerdekaan diri sendiri”. Dalam bab I: Siapa ingin Merdeka harus bersedia dipenjara. Situasi yang dihadapi. Pastilah bukan dua melainkan tiga jilid, yang sebelum serbuan Belanda di Jawa bulan Desember 1948, hanya jilid pertama dan ketiga telah beredar dalam bentuk stensilan. Di Sumatra terbit jilid pertama dan karangan pertama dari jilid kedua, dalam seri penerbitan yang diberi nomor berturut-turut. Tebal terjemahan Helen Jarvis seluruhnya terdiri dari 566 halaman: 303, 401 dan 381 untuk masing-masing jilid. Dalam bukunya hampir tiga puluh kali Tan Malaka menyebut suatu saat, atau menunjuk pada suatu peristiwa aktual, dari itu bisa disimpulkan pada bulan apa dan sampai di mana perkembangan penulisan manuskripnya. Ia memulai kisahnya di Magelang; sejak 11 Maret 1947 ia dipindahkan ke sana. Di sini ia mendapat kesempatan menulis, dan barangkali dalam bulan April 1947 kalimat-kalimat pertamanya mulai dituliskan di atas kertas. Bagaimanapun dalam bulan Mei 1947 separoh jilid pertama telah terselesaikan. Dalam bulan Juli ia menulis bab sebelum bab yang terakhir. Aksi militer Belanda mungkin sekali tidak menunjang bagi penulisan naskahnya; malahan justru memindahkannya dengan terburu-buru ke Ponorogo, yang keadaannya jauh lebih buruk ketimbang keadaan di Magelang. Dalam bulan September 1947 terbuka kesempatan untuk menyusun kata pengantar dari jilid pertama, dan juga untuk memulai jilid yang kedua. Dalam bulan Oktober lima dari enam bab telah selesai; bab yang terakhir dan terpanjang menyusul dalam bulan November 1947. Kata pengantar tersendiri untuk penerbitan jilid ini tidak pernah datang. Jilid pertama belum kunjung terbit juga, dan masih harus menunggu berbulan-bulan lagi. Dengan segala ketidakpastian ini, maka tidak semestinya mencurahkan tenaga untuk sebuah kata pengantar baru. Semuanya itu tidak membikin takut Tan Malaka untuk bekerja seperlunya memulai dengan jilid ketiga, yang dalam bulan Desember 1947 sudah seperempat terselesaikan, dan pada bulan Maret 1948 separoh yang terakhir dengan cepat terselesaikan juga berkat pengutipan dari karangan-karangn yang sudah terbit sebelumnya. Di dalam sel Madiun, yang sejak 26 November 1947 ia dimasukkan di sana, dituliskannya pada halaman penutup, bahwa ia telah menyelesaikan naskahnya pada bulan Maret 1948. Dengan demikian dalam waktu satu tahun Tan Malaka menuliskan riwayat hidupnya, dari April 1947 sampai Maret 1948: jilid pertama dari April sampai Juli 1947; jilid kedua dari September sampai November 1947; dan jilid ketiga dari Desember 1947 sampai Maret 1948. Situasi untuk bisa menghasilkan karya yang begitu luas jauh dari ideal. Untuk Tan Malaka disediakan pensil kertas dan meja tulis. Sel yang dihuninya terkadang sepi, terkadang harus dihuni bersama sesama kawannya. Nasibnya tidak jelas. Pemindahan bisa terjadi setiap saat; kemudahan-kemudahan bisa dengan seenak sendiri diberikan atau dicabut. Begitu juga dengan nasib naskahnya tidak pasti; dirampas atau dihancurkan selalu menjadi ancaman. Bab-bab karangan yang tertulis tangan itu diselundupkan keluar penjara, atau diambil oleh orang-orang yang membesuk Soekarni atau Tan Malaka. Dalam hal ini juga ada seorang pegawai penjara di Magelang yang ikut berperan sebagai kurir. Tulisan-tulisan tangan Tan Malaka itu kemudian diketik dan distensil oleh pengikutnya di Yogya. Ikut terlibat dalam hal itu Pangalu Lubis, Hasan Sastraatmadja, dan Paramitha Abdurrachman. Tulisan tangan Tan Malaka itu memberi cukup masalah bagi para pengetik, terutama dengan kata-kata dari bahasa asing dan nama-nama yang harus disalin. Selanjutnya teks juga memperlihatkan gaya Tan Malaka yang istimewa: khas, kuno, tidak selalu konsekuen mengubah gramatika dalam bahasa Indonesia, seringkali mengambil kata-kata dan ungkapan-ungkapan dari bahasa Belanda, Inggris, Perancis dan Jerman, dan dalam bukunya ini juga dari bahasa Tionghoa, Jepang dan Latin. Jarvis menamai buku ini sebagai ‘cendrung’ pada gaya Jerman dengan banyak menggunakan huruf kapital, khususnya untuk nama-nama benda abstrak, dan menuliskan serangkaian tanda seru, tanda tanya dan titik-titik. Kemungkinan menggunakan bahan stensilan sebagai cetakan percobaan jelas tidak bisa. Jilid pertama stensilan itu terbit dengan sangat banyak salah ketik. Sesudah terbit Tan Malaka, yang saat itu masih di dalam penjara di Magelang, kiranya sudah melihat penerbitan bukunya itu. Rintangan lain dengan menuliskan ingatannya menyebabkan tidak adanya literatur. Untuk jilid pertama dan sebagian sangat besar jilid kedua melihat pada rujukan dalam teks hanya memberikan sebagian dari suplemen pada Encyclopaidie van Nederlandsch-Indie, di mana J.Th. Petrus Blumberger memberikan laporan panjang lebar tentang sejarah komunisme dan Partai Komunis di Hindia, demikian juga dari Inside Asia John Gunther yang populer cetakan pertama tahun 1939. Ensiklopedi tersebut seringkali dikutipnya untuk menyusun catatan tentang peranannya sendiri di dalam gerakan komunis; Tan Malaka sedikit saja memberikan kritiknya. Gunther dimanfaatkan dengan baik sebagai sumber untuk bab panjang tentang situasi politik di Tiongkok, tertuju pada situasi Shanghai tahun 1932. Juga brosusr Alimin Analysis dibacanya, sesegera sesudah borosur ini terbit. Sesudah November 1947 tampaknya Tan Malaka mempunyai sumber lebih banyak lagi. Terutama suratkabar yang dipakainya sebagai rujukan, seringkali dari tanggal yang sudah tua. Agaknya kawan-kawannya sehaluan yang mengatur memasukkannya ke penjara, dengan kliping dari surat kabar Belanda dan Indonesia yang relevan. Selanjutnya juga tersedia padanya nomor-nomor penerbitan Indisch Tijdscrift van het Recht dari bulan Desember 1931, yang memuat vonis terhadap Soekarno, juga buku The Pacific Charter karangan Hallet Abend. Buku-buku rujukan tentang komunisme yang ada pada Tan Malaka ialah bagian ketiga dari karya Engels penerbitan Jerman Die Ursprung der Familie, des Privateigentums und des Staats dan penerbitan Inggris karya Lenin State and revolution. Tentang karyanya sendiri Tan Malaka hanya pakai Massa Actie. Tentang karyanya yang lain disebutnya sedikit-banyak jika memang pada tempatnya. Adapun yang tidak disebut-sebutnya Toendoek kepada kekoeasaan, tetapi toendoek kepada kebenaran dan Semangat moeda, dan Siaran Pari, Politik dan Moeslihat dari sesudah tahun 1945. Tan Malaka banyak mengutip dari ingatan, terutama dari Hegel, Marx, Engels, dan Lenin, dan memang benar, seperti Jarvis dalam terjemahannya telah dengan teliti memeriksanya. Masalah serius untuk Tan Malaka dalam menulis bukunya ialah, tidak adanya kemungkinan untuk mencari tahu pada bagian-bagian manuskripnya yang terdahulu. Maka terjadilah pengulangan dan penghilangan, sehingga memberi kesan fragmentaris pada bukunya. Hal seperti ini masih diperkuat lagi dengan cara pendekatan Tan Malaka yang berbeda. Dari penjara ke penjara lebih dari sekadar riwayat hidup, yang lebih dikonsentrasikan pada masa di sekitar penahanannya. Buku ini berisi penjelasan tentang Marxisme, historiografi Marxis secara umum, reportase jurnalistik, pengalaman-pengalaman pribadi, dan akhirnya terutama juga tentang sumbangsih serta penentuan posisi dirinya dalam perjuangan tahun 1947 dan 1948, ketika ia setelah dibebaskan dari tahanan, kembali diharapkan memainkan peranannya. Jilid pertama, dalam biografi Tan Malaka ini berkali-kali disebut tentang riwayat hidupnya, dengan kisahnya yang memberikan informasi mengenai sepak terjang dan pemikirannya selama dalam periode yang terkait. Seperti sudah dikatakan, Dari pendjara ke pendjara lebih dari sekadar riwayat hidup. Karena itu pandangan tentang isi dan susunan, serta sejumlah bagian yang menarik memang pada tempatnya. Buku ini dimulai dengan empat bab pendek (seluruhnya sepuluh halaman), yang merupakan pengulangan Madilog, yaitu: ‘Perjuangan dua kodrat’, Human rights (Hak asasi manusia), ‘Hak perlindungan diri’, dan ‘Kepastian Hukum’. Pengantar ini akan memperlihatkan dialektika dalam hukum – dalam kasus Tan Malaka antara keadilan dan penindasan di medan perang dirinya sendiri dan perjalanan hidupnya. Ia mengikuti perkembangan hak-hak asasi manusia individual selama berabad-abad, yang menetapkan juga aturan-aturan tentang penahanan, pemeriksaan dan pengadilan, sebagai hasil dari Revolusi Perancis. Tapi apakah itu semua artinya, jika krisis ekonomi, pengangguran, perang, dan kelaparan terus menerus mengancam terhadap lebih dari 55% penduduk di negeri-negeri kapitalis, dan lebih dari 90% di tanah-tanah jajahan? Apa arti aturan-aturan itu jika si terdakwa miskin dan tidak berpendidikan dan tidak mempunyai uang dan pengetahuan untuk membela diri atau meminta bantuan pembelaan? Apa arti hukum jika yuris-yuris yang adil pun berakar pada kepentingan, pendidikan serta cara berpikir borjuasi? Tentang hal tersebut di atas Tan Malaka tidak menarik kesimpulan, bahwa juga hukum ialah alat klas yang berkuasa dan akan diberlakukan terhadap musuh-musuh klasnya. Karena ceritanya yang emosional terhadap tindakan buruk pengadilan terhadapnya itu, agaknya ia memendam ilusi bahwa aturan hukum juga akan diberlakukan terhadapnya, sesudah setiap kali dikecewakan, di Hindia Belanda, Filipina, Hongkong, dan di Republik Indonesia. Bab kelima ‘Pulang ke Indonesia’ dimulai dan diakhiri dalam bulan November 1919. Hawa mulai sejuk, hujan rintik-rintik, angin bertiup sepoi-sepoi basah, November 1919. Kapal Samudra mengangkat jangkarnya dengan gemuruh, memutarkan mesin sayap di buritan, mengombak gelorakan air, lebih hebat daripada rodanya ikan paus mengacaukan lautan sekelilingnya, waktu mulai berenang. Perlahan-lahan kota Amsterdam ditinggalkan sampai hanya kelihatan kelompokan rumah yang kabur, sayup-sayup dipandang mata .... Kota yang luas, berpenduduk lebih kurang sejuta orang, tetapi sebenarnya kota kecil. Di sana-sini tersebar pabrik jam, gula-gula, coklat, roti, biskuit dan lain sebagainya pabrik kecil. Penuh dengan winkels, toko-toko yang memang bagus rapi, tetapi kecil buat bandar metropolis. Yang sangat dikagumkan sebagai gedung lambang modernisme dalam dunia bangunan ialah de “Beurs’. Bukan satu skycraper, kukuh kuat, tegap melambung ke angkasa...lambang kemauan dan kegiatan satu bangsa muda berkemauan baja. De “Beurs” ialah sarang tengkulak, sarang rayap, kutu busuk yang ramai asyik tawar menawar effecten, aandeelen, dan surat jaminan lain-lain, atas tanah bangsa lain. Seperti Taj Mahal adalah satu perpaduan seni bangun dengan kekayaan dan kecintaan yang suci murni....., demikianlah pula de “Beurs” adalah perpaduan atau lebih tepat percampuran architectuur dengan semangat kruideniers dan kolonialen yang cukup kita kenal. Perlahan-lahan kapal berlayar di antara bandar Amsterdam dengan kota ikan Ymuiden di pantai Noordzee, melalui terusan Canaal Ymuiden, takut pematangnya terusan itu tembus dilondong ombak dan mengenai tanah di kanan kirinya. Perlahan-lahan, hati-hati, voorzichtig...dan breekt het lijntje niet. Cocok benar dengan sifat Belanda. Holland op zijn smaalst. Tidak saja tanahnya di sini amat sempit, tetapi perusahaan pertanian di kanan kirinyapun adalah perusahaan kecil-kecil, kepunyaan seseorang kebun kentang, kebun arbes, dan jangan dilupakan kebun bloem-bollen. Bukan dikerjakan secara besar-besaran dengan mesin kekuatan 1001 kuda, melainkan dengan tangan dan hewan .... Je kunt het nooit weten: Kerja besar-besaran menuju ke arah yang jauh belum kelihatan dan mengandung risiko besar, memangnya bukan sifat Belanda. Benar di penghabisan abad ke XVI Belanda dan kapal layarnya meninggalkan pantainya, mengarungi Noordzee, melewati Afrika Selatan, membelok ke utara, berlayar sepanjang pantai Afrika, Arabia, Hindustan, Burma, dan sampai ke Indonesia. Tetapi bukanlah bangsa Belanda yang merintis jalan ke Indonesia itu, melainkan bangsa Portugis. Walaupun New York sekarang dahulu bernama Nieuw Amsterdam, tetapi bukan Jan atau Piet yang menyabung jiwa mendapatkan Amerika melainkan Colombus. Dash, avontuur, mendapatkan yang baru atas perhitungan yang masih mempunyai X, belum pasti terlihat, mengandung resiko, bukanlah sifat bangsa Belanda. Dulu tidak, sekarang tidak, dan mungkin sekali di hari depan pun tetap tidak? Tidak mustahil Negara Belanda sedikit demi sedikit di kemudian hari mengadakan perusahaan berat atau sedang, seperti pabrik membikin mesin kapal, kereta atau pesawat. Dan seterusnya dengan perubahan dasar perekonomian itu, sifat jiwanya (psikologinya) jadi berubah pula. Tetapi buat bisa melawan negeri besar seperti Inggris, Amerika dan Rusia dalam persaingan dagang, Belanda yang tak mempunyai bahan besi, bauxite, aluminium, timah, nikel dan lain-lain yang penting buat baja paduan (allay) zaman sekarang, maka haruslah semua bahan-bahan itu didapatkan dengan tangan besi. Hal ini mustahil bisa dijlankan, kalau bangsa Indonesia tetap menolak tangan besi Belanda itu, dan terus tetap menentangnya dengan hati baja, meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing dan granat tangan saja. Negara Belanda sudah di belakang, dan kapal kita sekarang berada di Noordzee menuju ke Indonesia melalui samudra Atlantika, Selat Gibraltar, Lautan Tengah, lautan Merah, dan akhirnya samudra Hindia. Lebih kurang 6 tahun lampau melalui tempat ini juga tetapi dengan arah sebaliknya, ialah dari Timur ke Barat. Alangkah banyaknya perubahan yang kualami dalam diriku sendiri, teristimewa karena pengaruh bebas dari dunia di sekitar meletus dan selesainya Perang Dunia I, pecah dan selesainya revolusi sosial Rusia, berdiri dan berkumandangngnya suara Internasional III. Pada penghabisan tahun 1913 saya lalui jalan ini juga. Tetapi alangkah berbedanya warna dan kenang-kenangan yang ditimbulkan oleh sekitarnya jalan ini 6 tahun dahulu, ialah pada akhir tahun 1913 itu, dan akhir tahun 1919 ini! Di tengah-tengah samudera Atlantika ini, di waktu malam yang sunyi, yang cuma diusik-usik oleh deburan air yang dibelah oleh kemudi kapal, terkembanglah film hidup dalam 6 tahun di negeri Belanda yang semakin jauh berada di belakang itu. Lebih banyak pahit dari pada manisnya. Konflik pertengkaran hebat di dalam diri yang belum selesai diperhebat, didorong oleh konflik dalam masyarakat Eropa yang ditinggalkan dan pertentangan tajam dalam masyarakat yang akan ditempuh. Untuk perhitungan pertama dengan Belanda Tan Malaka cukup dalam dua halaman saja. Mentalitas kruidenier masih akan kembali seringkali. Kata pengantarnya diteruskannya dengan kenangannya pada Belanda, tidak seluruhnya, karena menurutnya apabila seluruh kisah akan minta terlalu banyak waktu dan tempat. Maka menyusullah cerita-cerita tentang sekolah guru di Haarlem dan program pengajaran di sana, kesehatannya yang buruk, rumah pondokan, dan penyadaran politiknya, yang tercakup dalam dialektika tesis, antitesis dan sintesis (Nietzche, Rousseau, Marx/Engels), yang diperhebat sesudah di rumah kosnya yang baru di Bussum. Utang biaya studi yang bertambah-tambah sangat mengganggu pikirannya, sampai tahun 1919 ketika tawaran bekerja sebagai guru untuk Senembah Maatschappij di Deli memberi jalan keluar yang disambut baik. Tamasya kecil bercerita sedikit, meski terlalu sedikit, tentang masa mudanya di Suliki dan di sekolah guru di Fort de Kock. Orang-orang Belanda yang ditampilkannya sebagian disebut dalam nama lengkap mereka dan sebagian hanya huruf pertamanya saja. Yang tersebut akhir ini digunakannya jika ia memberi komentar yang kurang menyenangkan atau hendak menuliskan karakteristik yang bersangkutan. Dalam hal ini ia sebagian juga menggunakan pernyataan langsung, seperti demikianlah terdapat di dalam buku ini, sengaja untuk membuat kisahnya menjadi hidup. Tujuh belas halaman selanjutnya ditutup sebagai berikut: Sekalian tinjauan selayang pandang kehidupan saya selama 6 tahun di Nederland, yang sekarang sudah jauh dibelakang, ditinggalkan kapal yang saya tumpangi. Sengaja saya ambil beberapa episode saja buat menggambarkan asal dan coraknya paham yang saya kandung untuk menghadapi hari depan yang penuh ranjau kesulitan. Walaupun begitu, tulisan buat fasal ini sudah melebihi rancangan saja, sehingga saya terpaksa mengikhtiarkan saja kesan yang saya peroleh tentang bagian bumi dan laut yang saya tempuh sekarang. Selanjutnya Laut Tengah sebagai buaian peradaban melahirkan beberapa halaman historiografi Marxis, di sinilah fiil daya-kerja Iskandar Akbar, Abdarrachman, Kalifah Kordoba, dan Napoleon menentukan, yang bermuara pada hasrat untuk menulis ulang sejarah: Yunani, Roma, Arabia, dan negara-negara besar lainnya. Lalu sesudah itu menyusul Samudera Hindia, dengan India yang mengeksplorasi agama Hindu dan bencana sistem kasta. Ketika kaum paria bangkit memberontak, maka Revolusi Perancis dan Rusia ibarat permainan anak-anak belaka. Akhirnya Sabang Indonesia. Di tepi pantai, dari atas bukit mengagumi matahari terbenam! Aneka warna yang bertukar setiap menit! Saksikanlah sendiri! Sampailah sekarang ke ujung pelajaran! Lautan Hindialah yang penghabisan dilayari dari pantai Afrika-Arabia sampai ke pantai Sumatera. Inilah samudera yang diarungi oleh moyang bangsa Indonesia sekarang, di jaman gelap gulita. Itulah bangsa perantau. Semangat pertahananlah yang mendorong mereka mencari tempat kediaman baru, apabila alam tidak memungkinkan bagi mereka untuk hidup. Semangat perantau itu mendapat dorongan dari susunan masyarakat di masa lebih dari dua ribu tahun yang lalu, pada masyarakat Minangkabau dan Batak. ‘Berpedoman bulan dan bintang, dilayarkan perahu ramping, di jamin oleh alat cerdik bersemangat bertoboh, bergotong royong atau tolong menolong dimasa bahagia “hati gajah sama dilapah, hati tungau sama dicacah” dan bahaya “telentang sama minum air, terlungkup sama makan tanah”... samuderapun cuma danau saja dimata mereka. Bab 6 ‘Di Deli’, kemudian Tan Malaka berangkat menuju Deli. Dan tentang itu ia mulai dengan bab baru sebagai berikut: Goudland, tanah emas, surga buat kaum kapitalis. Tetapi tanah keringat air mata maut, neraka buat kaum proletar. Deli di masa saya di sana (Desember 1919 sampai Juni 1921), sekarangpun masih menimbulkan kenang-kenangan yang sedih memilukan. Disana berlaku pertentangan yang tajam antara modal dan tenaga serta antara penjajah dan terjajah. Kekayaan bumi iklimnya Deli menjadi alat adanya satu golongan kaum modal penjajah yang paling kaya, paling sombong ceroboh dan paling kolot pada satu kutub. Dikutub yang lain berada satu golongan bangsa dan pekerja di Indonesia yang paling terhisap, tertindas dan terhina: kuli kontrak. Deli mempunyai segala-galanya, juga untuk membangun industri berat. Tapi Belanda memilih berinvestasi yang tanpa resiko namun dengan rendemen yang tinggi, seperti dalam budidaya tembakau. Tan Malaka mendalami lebih jauh tentang fakta-fakta yang disimpan dalam kepala hampir 30 tahun, untuk membuat gambaran tentang keadaan di Deli. Ia membeberkan tentang organisasi perusahaan, di mana semua bekas lanterfanters (orang gelandangan), deught voor niets (orang-orang yang gagal) dan sclemiels (orang sial yang bego) masih bisa diterima sebagai karyawan: ‘dengan tongkat besar, kepala kosong, dan suara keras’. Sebaliknya ada Klas yang membanting tulang dari dini hari sampai malam, klas yang mendapat upah cuma cukup buat pengisi perut dan penutup punggung, klas yang tinggal di bangsal seperti kambing dalam kandangnya, yang sewaktu-waktu di-godverdom-i (dimaki) atau dipukul, klas yang sewaktu-waktu bisa kehilangan isteri atau anak gadisnya jika dikehendaki oleh ndoro tuan...adalah klasnya bangsa Indonesia terkenal sebagai kuli kontrak. Pertentangan itu sangat hebat dan hanya berdasar atas warna kulit. ‘Dengan kulit yang putih, tongkat yang besar dan dua tiga patah kata “Melayu pasar” dan 13 “godverdomme”, mereka itu samasekali bergantung pada mandor-mandor Indonesia, namun begitu mereka menerima gaji yang luarbiasa besar. ‘Adakah tempat buat saya dalam masyarakat Deli seperti yang saya coba gambarkan di atas? Buat saya, seorang Indonesia yang berpaham radikal, di tengah-tengah satu masyarakat yang mengandung pertentangan maha tajam. Sesudah tinjauan yang emosional tersebut Tan Malaka menceritakan pengalaman sendiri, yaitu bahwa sebagian besar kolega-koleganya di Senembah menerima dia, karena ia diangkat sebagai karyawan oleh Dr. C.W. Janssen, direktur Maatschappij, yang datang pada saat yang sama dengannya untuk kunjungan inspeksi. Selain itu ia juga bertemu kawan-kawannya sehaluan yang hendak menjembatani kendala warna kulit itu. mengenai hal itu ada pelajaran yang telah diperoleh Tan Malaka di Belanda. Terhadap kata-kata cacimaki seperti vuile Neger (negro busuk) dan water Chinees (orang aneh) pastilah disahut dengan: ‘apa kamu bilang, sebutkan sekali lagi’, kemudian reaksinya hampir selalu: ‘niets, meneer’ (tidak apa-apa, tuan). Belanda itu atau dia takut dan menyembah, atau dia merasa lebih, maka meminta terus sambil menendang terus. Mentalitas kruidenier yang haus keuntungan itu juga menyatakan diri, bahwa merekalah satu-satunya bangsa Barat yang selam berabad-abad mau tunduk pada syarat-syarat Jepang yang menghina untuk tetap bisa berdagang di Deshima. Selanjutnya Tan Malaka menulis tentang kegiatannya sebagai guru, yang juga segera berujung pada kontak-kontak dengan orangtua, dan sementara itu masalah perbaikan nasib mereka tetap menjadi bahan pembicaraan. Posisi Tan Malaka tidak bisa dipertahankan, dan ini juga dirasa Dr. Jansen ketika pulang kembali ke negerinya, sesudah kunjungannya ke Indonesia yang lama. Ia memberi izin pengunduran Tan Malaka dengan hormat. Oleh para tuan besar di Deli Dr. Janssen dipandang ‘sebagai idealist, ethis, sebagai orang goblog dan diejek2kan dibelakangnya’. Pada kenyataannya sekolah-sekolah kuli ialah sekolah-sekolah Potemkin, dan dengan cara itu Jansen dikelabui. Dan dengan beberapa kalimat tentang Dr.Janssen, bab ini mengakhiri tentang Deli, di tempat Tan Malaka menjadi radikal. Dr.Janssen, walaupun berbudi luhur, cukup arif bijaksana merasakan jurang yang luas dan dalam di antara pemandangan politik kami. Tak sekali ini saja, dan tidak dengan bangsa kulit putih saja saya merasakan lakonnya kesedihan ‘tragedy’ hidup: bisa sehilir semudik, seminum semakan, tetapi tak bisa seperjuangan sepasukan. Bab tujuh ‘Semarang, Kota Merah’ melukiskan tentang medan kekuatan gerakan kiri di Jawa dan represi Belanda yang makin meningkat, dan terutama dengan Exorbitante Rechten yang merupakan bahaya besar – ‘laksana bom terpendam, entah dimana, tetapi bisa meletus sewaktu-waktu’. Tan Malaka bertemu Tjokroaminoto, Darsono dan Semaoen. Dengan pertolongan PKI ia mendapat kesempatan untuk mewujudkan rencananya tentang sekolah proletar dengan sukses besar. Tentan ini ia menuliskannya dengan penuh semangat. Ia masih ingat pada pembukaan pertama sekolah itu. Sesudah itu diadakan defile: para murid bercelana merah, berbaris-baris, bersaf-saf didepan khalayak dan menyanyikan lagu internasional...pertama kali diantara rakyat Indonesia. Setelah semuanya berlaku dengan cepat rapi teratur oleh murid sendiri, maka saya tunggu sambutan rakyat...yang tiada juga terdengar. Saya peramati beberapa penonton yang menyambut dengan air mata berlinang-linang, takjub! Sedih? Gembira? Keduanya: Sedih, karena insaf akan nasib anaknya dan diri sendiri; sekolah dan alat serba kekurangan. Gembira, karena para murid ini akan dididik, bukan menjadi golongan perkakas penjajahan, melainkan buat mengangkat derajat rakyat tertindas, terhisap dan terhina, ialah golongan mereka sendiri. Mereka merasa mendapatkan bakal pahlawan. Baru sesudah bermenit-menit tepuk tangan yang sayup kedengaran, yang segera disertai oleh sorak dan tepuk tangan yang riuh. Tapi Tan Malaka, karena kurangnya pemimpin yang mampu, tidak terelakkan lagi menjadi terlibat dalam aksi-aksi politik. ‘Disini saja sudah menginjak tanah lincir yang dinamai politik. Sekali kaki menginjak, tak mudah ditarik kembali.’ Tan Malaka mendominasi Kongres PKI bulan Desember 1921, dan juga aktif sebagai pemimpin serikat buruh. Penangkapan mengancam, tapi tidak ada jalan kembali, dan Tan Malaka sadar tentang segala kemungkinan akibatnya. Bab delapan berjudul ‘Tangkap buang I’ menyusul kisah tentang penangkapan Tan Malaka di Bandung pada tanggal 13 Februari 1922 bersama dengan Bergsma. Ia memberikan kata-kata penghargaannya kepada ‘koppige Fries’ (orang Frislandia yang keras kepala) ini. ‘Seperti Semaun dan Darsono, juga Piet Bergsma, Sneevliet dan lain-lain Belanda banyak meninggalkan jejak dalam gerakan sosialisme dan Serikat Sekerja di Indonesia.’ Mereka harus dihormati sebagai pelopor apabila proletariat Indonesia telah mencapai kemenangan. Tan Malaka menyerang dengan tajam terhadap Exorbitante Rechten. ‘Barbertje moet hangen’ (salah atau benar mesti dihukum), ia mengutip Multatuli. Kemudian ia menceritakan sebuah fabel: “Sebermula, sekali peristiwa, seekor anak kambing, satu hewan kecil dungu tak berdaya, sekonyong-konyong berhadapan dengan raja hutan sang harimau, di tepi satu sungai kecil. Kata sang harimau: ‘Nah, sekarang syukurlah aku berjumpa dengan engkau dan aku akan dapat menjatuhkan hukuman. Bukankah engkau yang selalu mengeruhkan air yang hendak kuminum? Sahut anak kambing: ‘Ampun tuanku, masakan patik bisa mengeruhkan air yang hendak tuanku minum itu, karena patik minum dihilir ini, sedangkan tuanku minum di hulu sungai’. Kata sang harimau: ‘Mungkin tidak sekarang kau keruhkan, tetapi tahun yang lampau pastilah engkau yang mengeruhkannya.’ Sahut anak kambing pula: ‘Ampun tuanku, beribu kali ampun, masakan dapat patik, yang hina dina ini mengeruhkan air minum tuanku pada tahun yang lalu, karena dimasa itu patik belum lahir.’ Kata sang harimau; ‘Kalau bukan engkau yang mengeruhkan air minumku itu, maka tentulah ibumulah yang mengeruhkannya. Dan kalau bukan ibumu niscaya nenekmulah yang mengeruhkannya.’ Demikianlah kata sang harimau yang penghabisan sambil menerkam anak kambing yang tak bersalah dan tak berdaya itu, untuk dimakannya.” Exorbitante Rechten laksana satu golok yang dipegang di dalam gelap buat ditusukkan sewaktu-waktu kepada seorang yang dianggap musuh bagi diri sendiri. Dipandang dari sudut hukum, maka ‘hak istimewa’ itu adalah aturan sewenang-wenang, despotis; dan dari sudut kesusilaan, moral, adalah sikap yang tak ksatria, bahkan pengecut. Tapi juga merupakan akibat logis dari harapan sekelompok kecil orang Belanda yang ingin mempertahankan kekuasaan kolonialnya, lepas dari proses peradilan, keadilan dan kebenaran, maka mengherankanlah jika Tan Malaka menjadi sangat marah dan tersinggung. Dalam bab ini juga ditulis tentang beberapa unek-unek pribadi. Tentang pengasingannya Tan Malaka bisa menuliskannya menurut pengalaman sendiri: “Indonesia baru diingat dan diingini bumi serta iklimnya, kalau kita, anak Indonesia, disalah satu bagian bumi ini gemetar kedinginan menghadapi angin sejuk meniup salju dikelilingi bukit batu, tandus atau pohon tak berdaun, gundul diselimuti salju. Barulah kita insjaf apa artinya sang matahari, yang selalu mengedari kita dan tumbuhan kehijauan yang menyegarkan pemandangan mata. Masyarakat Indonesia baru ingat dan kita ingini, kalau kita berada di tengah-tengah bangsa lain yang sepatahpun tak kita mengerti bahasanya, kegirangannya, atau kesusahannya: barulah pula kita bandingkan dengan keadaan ketika kita masih berada di tengah-tengah keluarga atau teman seperjuangan. Barulah kita hargai sesuatu pekerjaan yang mengandung tujuan dan hasrat yang pasti, apabila kita berada di negeri asing, di tengah-tengah masyarakat berbahasa dan berhasrat lain, apabila kita merasai diri sendiri laksana sebiji pasir dihempaskan oleh gelombang kesana-kemari, lepas dari ikatan masyarakat yang biasa kita kenal dan lepas dari hasrat hidup dan pekerjaan sehari-hari. Lama kita menyesuaikan diri dengan hawa atau iklim negara baru, masyarakat dan pekerjaan di negeri asing pada tingkat kemajuan internasional sekarang ini. teristimewa pula kalau kita berada dalam kemiskinan di tengah-tengah hawa-iklim, masyarakat dan semuanya asing. Dalam hal ini banyak iman yang pecah: orang buangan kembali diam-diam atau membunuh diri atau hidup terus sebagai hewan (demoralisasi). Jarang yang bisa memegang paham bermula, terus teguh pegang hasrat dan imannya. Dalam bab ini Horensma juga disebut beberapa kali. Ia masih sempat berbicara dengannya pada saat keberangkatannya. Ia berpamitan kepada gurunya: Entahlah. Tetapi yang memberi sebagian pengetahuan di bangku sekolah, dimasa kanak-kanak dan pemuda, dan dibelakangnya yang membuka mata serta memberi kesempatan kepada saya memadamkan dahaga atas pengetahuan di Eropa, sumbernya pengetahuan itu adalah Gerardus Hendrikus Horensma. Seorang murid yang ingin belajar, ingin tahun, tak akan memandang warna kulit atau bentuk muka guru yang memberikan apa yang diingini si murid yakni pengetahuan. Guru yang tulen tak akan pula memandang warna kulit muridnya. Yang ikhlas dan sanggup menerima pelajarannya adalah sederajat di hati sanubarinya dengan anak kandungnya. Guru yang tulen ingin menurukan pengetahuannya, seperti si murid yang tulen ingin pula haus menerima pengetahuan. Salah satu jabatan atau tempat yang bisa benar menghilangkan prejudice, vooroordeel (prasangka) terhadap seseorang, ialah rasa benci sebelum dikenal dan diketahui betul, disebabkan warna kulit, bahasa atau adat istiadat, dan sebaliknya bisa menimbulkan rasa penghargaan ‘duduk sama rendah berdiri sama tinggi’ adalah perguruan. Sesudah itu sedikit saja menceritakan tentang keluarganya sendiri. Akhirnya Tan Malaka hanya mengambil satu halaman saja untuk orangtuanya. Melalui adiknya ia berpamitan, dan minta kedua orangtuanya untuk tidak datang ke pelabuhan Padang dan berpamitan, sebelum perjalanannya ke pengasingan di Negeri Belanda. Juga ditulisnya tentang kesedihan ibunya karena tidak mempunyai anak perempuan. Pada tahun 1919 ia masih menengok orangtuanya. Mereka mengerti, bisa menerima, dan juga setuju pada cita-citanya, demikian anak laki-laki mereka itu menulis. Tetapi kewajiban terakhir dari anak Indonesia terhadap ayah dan bundanya, mengunjungi kubur mereka dan melakukan keinginannya selagi hidup memperingatkan arwah mereka, berhubung dengan bermacam-macam rintangan sampai sekarang (Mei 1947) memang belum juga sanggup saya jalankan. Saya akui bahwa kewajiban yang masih ditangguhkan ini sering dirasa seperti ‘duri di dalam daging’. Teristimewa pula karena saya insjaf dan selalu merasa sayang, sebab gerak-gerik saya dari kecil sampai mereka meninggal, memang banyak menyusahkan mereka. Bab ‘Kemana?’ menceritakan tentang langkah-langkah besar selama periode April 1922 sampai akhir 1923. Ia di Belanda dan menjadi terkenal sebagai orang Indonesia pertama calon anggota Tweede Kamer, dan untuk itu Partai Komunis mengorganisasi safari pemilu yang diperluas, dengan membawanya berkeliling di seluruh negeri. Tentang semuanya itu Tan Malaka menuliskannya dalam satu halaman. Saya tidak bisa mengerti, mengapa cerita ini sesingkat itu? Dengan bangga Tan Malaka mengenang kembali pada fase kehidupannya di tengah masyarakat, seperti dalam bab-bab sebelumnya demikian juga halnya ketika ia bisa membuat tulisan yang begitu hidup tentang pengalamannya dengan para pemimpin CPH (Partai Komunis Belanda), mahasiswa-mahasiswa Indonesia dan orang-orang awam Belanda selama perjalanan kelilingnya di Belanda. Ternyata ia tidak peduli dengan tempat ketiganya dalam daftar calon, yang terlalu rendah untuk menjadi wakil dari enam puluh juta penduduk Indonesia – tapi ini tampaknya merupakan kritik yang belakangan saja. Ia juga menambahkan tentang dirinya yang tidak mempunyai niat untuk tinggal di Belanda. Dari sini kemudian ia menuju ke Rusia. Rusia tahun 1922! Bukan Rusia tahun 1927, yang berada dalam pertikaian hebat antara gologan Stalin dan golongan oposisi, Rusia yang berada di pintu gerbang Rencana 5 tahun. Bukan pula Rusia di waktu pecahnya perang melawan nazi Jermania, Juli 1941, sesudah mengalami tiga kali rencana ekonomi yang jaya mengagumkan seluruh dunia dan mentertawakan kemajuan sejarah yang sudah-sudah. Akhirnya bukanlah pula Rusia sekarang setelah mengalami peperangan dunia kedua, yang memusnahkan sebagian besar apa yang sudah didirikan bertahun-tahun dengan keringat, air mata, serta jiwa. Sampai di sini dalam tulisannya Tan Malaka tidak bisa mengingkari memberikan pendapat tentang politik Soviet, dan peranan Stalin di dalamnya, yang sejak 1922 ia harus berhadapan dengannya. Dan pendapat itu p un masih memainkan peranan di dalam masa depan politiknya. Tentang ini ditulisnya di dalam Siaran Pari dan Thesis, di dalam Dari Penjara ke Penjara ia harus menetapkan kembali posisi dirinya. Apakah ia masih selalu bisa mengharapkan dukungan dari Moskow, dan dengan demikian haruskah ia menuliskan positif tentang peranan Stalin? Tan Malaka menghadapinya dengan hati-hati. Pula dalam masa revolusi, baik dalam suasana anti-imprialisme ataupun anti-kapitalisme ini, tiadalah saya sanggup menceritakan semua pengalaman saya, yang diperoleh dalam beberapa panitia, konperensi ataupun dalam kongres ke-empat bulan November 1922, bilamana saya mewakili P.K.I. Dalam revolusipun memang ada yang perlu diumumkan dan ada yang habis bisa dibisikkan antara awak sama awak, dan ada pula yang baik disimpan sama sekali di dalam benak, sampai revolusi selesai. Selanjutnya Tan Malaka menyebut Darwin, Marx dan Lenin sebagai pemikir-pemikir yang menerapkan dialektika, logika, dan ilmu pengetahuan pada bidang penelitian mereka, di mana Lenin menganalisis sendiri revolusi di Rusia. Namun kesimpulan-kesimpulannya tidak akan diterapkan begitu saja untuk situasi di India atau Indonesia: Marxisme bukanlah dogma, tapi suatu garis pedoman untuk aksi revolusioner. Di dalam revolusi selalu ada faktor X: perilaku manusia, sehingga teori bisa menyimpang dari praktik. Pengalaman praktik, hubungan dengan masaa dan pengenalan terhadap situasi masyarakat bisa digunakan dengan sebaik-baiknya untuk prognosis tentang kemungkinan arah perkembangannya. Seorang revolusioner sejati haruslah mempunyai ‘open mind’ (mata terbuka) terhadapa jalannya revolusi di negeri-negeri lain. ‘Demikianlah pula umumnya sikap para pemimpin yang paling terkemuka di Rusia di masa saya disana (1922).’ Mereka menyadari benar tentang faktor X tersebut. Dengan alasan ini pulalah, maka di dalam Komintern dilangsungkan diskusi dan debat yang diperluas. ‘Kita tak perlu kuatir kalau kelak “Paduka yang besar” ini atau itu akan ‘tersinggung’ kalau dikemukakan kritik ini atau itu. Diskusi-diskusi semacam itu akan menghasilkan keputusan-keputusan yang mendapat dukungan luas. ‘Diktator proletar bukanlah diktator yang mendiktaturi kaum proletar, apalagi mendiktaturi Partai Proletar.’ Tan Malaka menyebut pemimpin-pemimpin Soviet yang telah dikenalnya: Lenin, Stalin, Trotsky, Zinoviev, Bucharin, Radek, dan lain-lain. Menurut apa yang saya baca dalam surat kabar, maka hampir semuanya pemimpin tersebut, kecuali Stalin, tidak ada kini yang hidup lagi. Cuma Lenin saja yang mati di tempat tidur. Yang lain-lain mati terbunuh dalam pergolakan antara fraksi Stalin dan seperti faksi oposisi dalam Partai Komunis sendiri. Demikianlah seperti dalam revolusi Perancis juga di Rusia ‘sang revolusi memakan anak’. Sang Sejarah tak mengenal penjelasan, tak mengenal perkataan kalau. Apa yang sudah dijalankan oleh sejarah tidak bisa dicabut kembali. Tak bisa diperiksa kembali, baik atau buruknya, adil atau zalimnya, buat mengulangi kembali perbuatan yang sudah dilakukan di masa lampau itu. apa yang sudah dijalankan oleh revolusi itu adalah benar, sebagai bukti, sebagai satu kejadian. Dan apa yang dikira benar itu mesti dibenarkan dahulu oleh sejarah, oleh kejadian. Cuma kita harus mengambil pelajaran dari yang lampau, supaya dapat menyingkirkan yang salah silap, dan memakai yang betul tepat-baik. Kemudian Tan Malaka kembali pada Kongres ke-4, di mana ia memilih metode yang aman dengan membuat kutipan panjang dari Petrus Blumberger tentang hal ini dan diberi komentar olehnya. Sehubungan dengan itu ia menunjuk pada diskusi-diskusi tajam di komisi-komisi Komintern tentang hubungan antara partai-partai komunis dan nasionalis di negara-negara jajahan, yang dalam hal ini Tan Malaka seorang pendukungnya – dan yang dengan itu ia melangkah lebih jauh dari yang diinginkan pimpinan Komintern. Tapi kendatipun demikian ia, seperti dinyatakannya, belum sampai ditangkap oleh polisi rahasia Tsjeka sebagai seorang pengacau atau ‘perobohan’. Akhirnya Tan Malaka menuliskan tentang kesan umumnya mengenai Rusia yang dari sudut ekonomi dan organisasi tertinggal jauh dari Jerman, tapi dalam organisasi politiknya disana berlaku persamaan. Setiap orang ialah tovaritsj, kawan, dari mulai Lenin dan Stalin sampai kaum buruh. Dari sudut ini orang Rusia berada lebih dekat pada orang Asia dibandingkan dengan orang-orang Eropa Barat. Mengapa bisa begitu, ia bertanya. ‘Generasi sekarang hidup dalam suasana sosialisme, walaupun masih dalam tingkat pertama dan mengalami banyak kekurangan dan masih dikepung oleh sistem kapitalisme’. Dari sudut ini mereka berbeda dari kaum Bolsyewik lama, yang dengan mudah bisa menyamakan diri dengan nasib bangsa-bangsa jajahan. Terhadap kaum Bolsyewik lama itu Tan Malaka mempunyai kenangan yang baik. Ini masalah sangat peka yang harus dihadapi Tan Malaka. Ia harus menyenangkan kedua belah pihak, tapi ia menyepelekan loyalitas tak bersyarat yang dituntut Stalin. Dalam hal itu tidak ada faktor X yang cocok bagi orang-orang komunis dari luar Rusia, menunjuk pada seorang ‘Paduka yang besar ini atau itu yang tersinggung’, sebutan bagi para pemimpin komunis yang telah jatuh di atas timbunan kotoran sejarah dan bahkan telah tersingkir dari sejarah, dan sebagai sindirian pada Tsjeka serta kaum Bolsyewik tua. Tapi Tan Malaka jelas masih tetap mempunyai sedikit ilusi tentang dukungan yang akan bisa diharapkannya dari Moskow, dan jurang antara PKI dan Tan Malaka serta pengikutnya dapat dikatakan tidak menjadi lebih dalam daripada praktik waktu itu. Kemudian Tan Malaka melanjutkan dengan dua bab yaitu bab Sembilan ‘Menjelang Filipina dan Canton’ dan bab sepuluh ‘Bagaimana Halnya Alat Cetak”. Kedua bab ini bercerita tentang pengalamannya selama di Tiongkok, yang menurut pengakuaannya sendiri ia pergi ke sana dengan mandat Komintern, suatu mandat yang diberikan kepadanya dengan tuga mengamati kinerja, dan juga untuk mendirikan partai-partai komunis di negara-negara Asia Tenggara atau Aslia, istilah yang dipakai Tan Malaka di dalam uraian-uraiannya. Tulisan ini juga ringkas saja, karena ia kekurangan kertas, dan tidak kurang penting pula: ‘Maka perlulah kita menyimpan ‘siasat’ buat meneruskan pekerjaan kita mengatasi ranjau yang ditaruh oleh kaki tangan imprialisme untuk mengahalang-halangi usaha kita.’ Sayang, jika salah selangkah saja atau terlambat semenit saja, ataupun sesat sepatah kata jawaban saja, saya sudah akan terjerumuskan ke dalam penjaranya imperialisme’ kisah-kisah ini tidak diceritakan kepada pembacanya. Tidak lama setelah tiba di Kanton (sekarang Guangzhou) Tan Malaka bertemu Sun Yat-sen, suatu kunjungan yang sangat mengesankan baginya, dan merupakan ancang-ancang untuk penggambarannya dalam beberapa halaman tentang pribadi tokoh pemimpin Tiongkok ini. Ia bukan seorang Marxis, bukan pula pemikir dialektika, tapi seorang revolusioner pragmatis yang juga dikagumi Tan Malaka karena hatinya yang tulus, tidak egois dan mempunyai hubungan erat dengan rakyat, sifat-sifat yang Tan Malaka pribadi berusaha selalu menjunjungnya dalam setiap tindakannya. Sebagai dasar untuk penyusunan kisahnya, kembali lagi Petrus Blumberger digunakan Tan Malaka untuk memberikan uraiannya, tapi dia ‘tak melihat apa yang berada di bawah muka air laut itu, karena yang berada disana itu adalah penulis ini sendiri dan yang masih belum matang untuk diungkapkan. Tan Malaka juga membaca Analysis karya Alimin, yang merupakan bantahan terhadap Thesis. Sapaannya terhadap Alimin yang semula bersahabat, sekarang berubah menjadi kata-kata keras terhadap Alimin yang tidak mengakui mandat Komintern yang diberikan kepadanya. Mereka itu mencerminkan ciri watak mereka yang lama: ‘tak peduli dan tak mau tanggung jawab, walaupun terhadap teman seperjuangannya, kalau dirinya sendiri terlibat. Sebuah uraian menarik tentang masalah-masalah seputar The Dawn, majalah yang atas perintah Profintern, gabungan serikat-serikat buruh komunis internasional, harus diterbitkan; kehancuran fisik yang dialaminya, diatasinya di Kanton dan memasuki Filipina secara ilegal, usaha untuk penyembuhan, semuanya itu memenuhi satu bab. Dalam penuturan Tan Malaka Kanton sebuah kota feodal, yang tidak berhak mengatasnamai kota dalam arti kata modern. Bab sebelas yaitu ‘Filipina’ yang diawali dengan sebuah analisis atas dasar Marxisme yang ambisius tentang sejarah kepulauan ini, yang dipusatkan pada revolusi tahun 1898 dibunuh oleh penguasa kolonial, Andres Bonifacio, Emilio Aguinaldo, dan Apolinario Mabini. Bonifacio bagi Tan Malaka merupakan wakil sejati dari kaum murba; Aguinaldo seorang tani kaya dan borjuasi, sedangkan Mabini seorang inteligensia radikal dan mewakili bagian dari rakyat. Aguinaldo tokoh yang bertanggungjawab atas pertikaian satu sama lain, yang berakhir dengan eksekusi terhadap Bonifacio. Memang inilah sikap (seperti sikap Aguinaldo) kebanyakan pemimpin rakyat yang mempunyai nafsu masyur berlebih-lebih, tetapi didalam hal kecerdasan dan budi pekerti berada dalam keadaan serba kekurangan’ – dengan kata-kata itu jelas, siapa yang dimaksud. Selanjutnya Tan Malaka menulis tentang para korban revolusi, yang jatuh nyaris tak terelakkan. Tapi tewasnya tenaga-tenaga pimpinan dalam revolusi tidak diharapkan dan merugikan bagi revolusi, tenaga-tenaga revolusi yang di garis depan inilah yang menentukan jalannya dan kesudahan revolusi. Tewasnya mereka ini memberi angin bagi kaum reaksioner, dalam hal di Filipina ini kemudian Amerika Serikat berhasil mengambil alih kekuasaan, dan seperti juga matinya Tan Malaka sendiri membawa kesudahan yang sama bagi Indonesia, sehingga ia sendiri pun dinyatakan sebagai anumerta. Tan Malaka menghormati pribadi Rizal dan sifat-sifat tabiatnya yang jempolan, yang dalam banyak hal bisa disamakan dengan Soetomo, pemimpin Parindra yang dalam tahun 1935 telah meninggal dalam umur relatif muda. Ini merupakan penilaian lembut yang menarik terhadap pemimpin partai kanan, yang dalam hal pendirian politik berjarak sangat jauh dari pendirian Tan Malaka. Tapi ia sangat menghargai ketulusan hati mereka, kejujuran dan pendirian mereka yang konsekuen pada prinsip dan pengabdian kepada rakyat. Tapi Rizal tetap seorang intelektual yang terisolasi dari rakyat Murba. Analisis Tan Malaka benar-benar orisinal, yang didasarkan pada informasi yang telah diperolehnya bertahun-tahun sebelumnya, melalui percakapannya dengan orang-orang Filipina dan kemudian dituliskannya tanpa dukungan bahan-bahan tertulis. Karena itu usahanya ini membangkitkan kekaguman, walaupun menurut Tan Malaka sendiri tulisan ini tidak mempunyai ‘finishing touch’, di samping adanya kekurangan-kekurangan lainnya. Kemudian tiba-tiba Tan Malaka pindah bercerita tentang pengalamannya sendiri di Filipina dan keberangkatannya ke Singapura, karena hendak mencegah ancaman pemberontakan PKI yang tidak tepat pada waktu. Sehubungan ini ia mempunyai rencana pendek, tapi karena adanya fitnah di kiri-kanan yang dibisikkan disana-sini serta tikam belakang yang dilakukan beberapa orang, diantara saudara Alimin, mengharuskan ia memasuki perihal ini dengan lebih luas dibanding dengan yang seblumnya – di dalam Thesis. Isi perluasan itu ialah, bahwasanya ia tidak lagi menenggang Alimin. Alimin pernah lama berkunjung pada Tan Malaka di Manila dan menawarkan, agar di Singapura Tan Malaka menjelaskan kritiknya secara tertulis terhadap rencana revolusi di bawah pimpinan PKI – ketika itu Tan Malaka sedang tidak merasa cukup sehat untuk bepergian. Ia sekali lagi menuliskan alasan-alasan dan alternatifnya – disebutnya aksi massa dengan tahapan-tahapannya, dan lebih lanjut disebutnya tujuan daripadanya satu demi satu. Sebagai wakil Komintern yang bertanggungjawab ia tidak bisa lain kecuali menentang rencana pemberontakan. Dulu pada tahun 1926 tidak, sekarangpun pada tahun 1947 tidak!’ Baru dua bulan berikut Alimin menanggapinya dengan jawaban yang menghindar. Dengan demikian kepercayaan Tan Malaka pada kejujuran Alimin menjadi sirna. Terlebih lagi ternyata kemudian, sesudah ia datang di Singapurra, bahwa Alimin tidak pernah menyebarkan kritik Tan Malaka tersebut di atas. Dan pertanyaan berikut ini Tan Malaka ingin mengajukannya kepada pengarang Analysis: “Bisakah sesuatu partai revolusioner berdiri, kalau para anggotanya tiada berlaku jujur satu sama lainnya? Reaksi ini, yang lebih bernada murung daripada pedas, tampaknya masih juga belum hendak menutup pintu untuk Moskow dan PKI. Ia bahkan masih menulis bisa menghargai Alimin sebagai teman atau kenalan, tapi tidak lagi sebagai kawan seperjuangan. Ini merupakan reaksi yang sangat lunak terhadap segala tulisan Alimin di dalam Analysis, yang mempersalahkannya dan dengan ditambahkan pula kata-kata caci maki. Pada bab dua belas yaitu ‘Tangkap Buang II’ berisi tentang hal berikut, Tan Malaka masih menyelipkan tentang pemberontakan 1926 lebih jauh, dalam kalimat-kalimat yang analitis, yang dari sudut situasi dan kondisi ekonomi dan sosial dipersamakannya dengan pendudukan Jepang, bahwa sebagai akibat dari penderitaan yang luar biasa kesadaran menjadi bertambah kuat, bahwa nasib harus direbut di tangan sendiri. Dorongan merebut kemerdekaan ini bukan ditiup dari luar, melainkan timbul dari dalam masyarakat Indonesia sendiri. Rakyat pemuda Indonesia menentang tentara Jepang-Inggris-Belanda, bukan terutama karena tamat kursus ini atau itu, bukan karena ingin meniru-niru, pemberontakan di luar negeri ini atau itu, melainkan sebagai hasil faktor-faktor, dari bermacam-macam faktor yang ada dalam masyarakat Indonesia sendiri. Suatu revolusi sejati tidak bergantung kepada bantuan luar negeri atau pemimpin-pemimpin tua yang kekanak-kanakan, yang ketakutan bahkan terhadap risiko yang paling kecil. Tahun 1926-1927 masih terlalu dini untuk berevolusi. Ketika itu Tan Malaka mengemban tugasnya untuk rakyat, Partai dan Internasionale, sampai PKI dibinasakan di Indonesia dan dipatahkan dari segala jaringannya. Dengan dibuntuti oleh anjing dan pemburu Imprialisme Tan Malaka kembali ke Filipina. Dan selanjutnya disusul dengan satu-satunya alinea tentang didirikannya Pari, yang selayaknyalah dimasukkan di dalam laporannya. Sekaranglah, sesudah dua puluh tahun, nyata hasilnya tindakan kami bertiga di Bangkok, pada pertengahan tahun 1927, yang ingin melihat kelanjutannya gerakan rakyat dan buruh Indonesia dalam keadaan serba sulit. Kami merasa, bahwa kelanjutan gerakan rakyat dan buruh Indonesia sebaiknyalah didasarkan pertama atau kepercayaan pada kekuatan diri sendiri; kedua dengan cara berpisah tetapi sejajar dengan gerakan proletaria di seluruh dunia, gentrennt masrschieren, vereint schlagen (berpisah mengerahkan dan serempak menggempur). Menurut penglihatan kami, maka sifat dan bentuk keadaan serta perjuangan 1945-1947 banyak sekali membenarkan sikap tersebut. Cuma belum lagi sampai saatnya buat memberi keterangan yang lebih jelas tentang bagiannya Pari semenjak berdirinya (Juli 1927) sampai sekarang (Juli 1947). Dari sudut lingkup cakupannya, apa yang ditulis Tan Malaka di sini agak terlalu sedikit. Dalam Thesis ia masih menulis tentang Pari dengan agak luas, dan ia juga mengajukan banyak alasan mengapa Pari tidak perlu dipandang sebagai pembelot terhadap Moskow. Baginya jelas, bahwa PKI dan barangkali juga Moskow tidak memercayainya. Bagi PKI Pari menupakan partai yang tidak bisa diterima sebagai sekutu. Bagaimana Tan Malaka akan bisa berkomentar tentang ini? ia bisa saja mengingkari Pari. Tapi dengan demikian berarti, ia pun mengingkari masalalu politiknya sendiri, dan juga sejumlah risalah-risalah politiknya dari masa sesudah perang, dan dengan hasil yang serba tidak pasti. Ia bisa saja menuliskan aksi-aksi Pari dengan lebih luas. Tapi jika demikian halnya, maka setiap usaha pendekatan terhadap PKI dan pengikutnya dan mungkin juga terhadap Moskow, selamanya akan menjadi tidak dimungkinkan. Tampaknya Tan Malaka memilih jalan tengah yang tidak tegas. Ia menghentikan cerita tentang Pari dalam satu alinea saja di tengah-tengah bab dan, yang menurut perkiraan pribadi, ia masih tetap mengusahakan membuka segala pilihan. Kelanjutan bab ini dan juga bagian akhir daripadanya merupakan suatu kisah yang menegangkan, yaitu tentang periode penahanannya di Manila dari tanggal 12 Agustus 1927, sampai ia dipaksa pergi ke Tiongkok pada 23 Agustus. Perkara ini mendapat perhatian dan dukungan luas, walaupun begitu suaka politik tidak diberikan kepadanya. Ketika para pelindung utamanya pun diancam dengan pengejaran, ia terpaksa menyelamatkan dirinya sendiri. Bab ketiga belas sebagai penutup jilid pertama buku ini berjudul ‘Kemana”. Kemana? Kapal membawanya menuju Amoy, di mana ia dengan sangat ajaib berhasil lolos dari penangkapan para penguasa Barat di pelabuhan terbuka (verdragshaven) ini. Ia menyelinap dengan bantuan orang-orang Tionghoa yang pernah berdiam lama di Filipina, dan yang akhirnya membawanya masuk ke pedesaan di Tiongkok. Tan Malaka menceritakan tentang kehidupan di sana yang sederhana dan penuh bahaya. Beberapa bulan kemudian sesudah itu desa ditinggalkannya, yaitu sesudah dilanda wabah mematikan, barangkali sebagai akibat penyakit pes. Tan Malaka pergi menuju Amoy. ‘Terbukalah pula kehidupan baru, penuh dengan riwayat, tetapi masih sunyi senyap dari apa yang masyarakat sebutkan “kesehatan dan kesentosaan hidup”. Semuanya ini merupakan kisah menegangkan, dengan satu alinea yang di dalamnya Tan Malaka dengan getir menuliskan tentang penerapan hukum yang berbeda untuk orang kulit putih dan orang kulit berwarna di ‘the country of the free’ (negara orang bebas). Menurutnya tidak ada hukum untuk exil (tempat pelarian). ‘Dunia sekarang dimonopoli oleh kulit putih. Keadaan ini tiada boleh dibiarkan begitu saja. Berbarengan dengan pembasmian kapitalisme, lebih kurang 60% kulit berwarna di seluruh dunia itu, harus meminta merebut, dan kalau perlu memaksakan persamaan hak, lahir dan batin “format and essential” atas 40% kulit putih di dunia ini. 2. Judul : “Tan Malaka, Dari Penjara Ke Penjara Bagian Dua” penulis: Tan Malaka diterbitkan: pada cetakan pertama oleh Pustaka Murba (Yoyakarta), cetakan kedua oleh TePLOK Press, pada bulan dan tahun terbit: Juli – 2000, jumlah halaman awal ix dan halaman akhir 401, dan nomor ISBN: 979-95888-2-0 dan 979-95888-3-7.. Di dalam penjara Ponorogo, pada bulan September 1947, Tan Malaka menulis kata pengantar untuk jilid pertama autobiografinya Dari Penjara ke Penjara, yang baru terbit pada bulan Juni 1948 dalam bentuk stensilan. (kata pengantar penerbit untuk penerbitan ini tertanggal Solo, 17 April 1948. Murba, 18-6-1948) memberitakan penerbitan ini. Versi pertama sudah terbit antara bulan April dan Juni 1948. Banyak teman seperjuangan diluar dan didalam penjara yang mengusulkan, supaya Tan Malaka menuliskan sejarah hidupnya. Kata Tan Malaka, agar pengalaman yang dialami dapat dijadikan pelajaran para pahlawan kemerdekaan sekarang dan di hari depan. Baru setelah satu bulan sampai dua bulan Tan Malaka putuskan untuk menerima usul itu. sebelumnya itu, Tan Malaka tidak memandang perlunya usulan tersebut. Alasan pertama tidak memandang perlu menerima usul tersebut ialah karena banyak pekerjaan lain yang jauh lebih penting daripada melukiskan sejarah hidup diri sendiri. Pekerjaan yang lain itu harus dikerjakan dengan cepat dan dengan penuh perhatian. Alasan kedua ialah karena menuliskan sejarah hidup selama lebih dari setengah abad yang banyak turun naik, ialah penuh dengan up and downs, yang mengandung lebih banyak ‘down’ dari pada ‘up’nya bukanlah suatu pekerjaan yang dapat disambilkan begitu saja. Alasan terakhir, yang tidak kurang pentingnya pula, ialah karena keadaan diri Tan Malaka sendiri. Kehilangan kemerdekaan yang sudah pasti disertai oleh hari depan yang tidak pasti, ditambah pindah-pindahan tempat kian kemari tak tertentu, acapkali di tempat yang tak mengizinkan tulis menulis. Selanjutnya berhadapan dengan kemungkinan, apa yang dituliskan itu kelak akan disita, dijadikan alasan ini dan itu sebagai bahan fluister-campagne (kampanye bisik-bisik) lawan yang tidak fair (adil). Karena pertimbangan yang demikian ini, maka mulanya sejarah Tan Malaka hendak diserahkan kepada sang penulis sejarah. Tetapi setelah di penjara Magelang Tan Malaka mendapat sel yang sunyi senyap tak bercampur dengan para tawanan lain, dan mendapat kertas, potlod dan meja buat menulis, maka timbulah pikiran untuk menulis, meskipun cuma buat mengisi waktu saja. Apa yang ditulis kelak boleh dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya: tak lebih dan tak kurang, oleh ahli sejarah bahwa beberapa orang yang akan menulis tentang Tan Malaka akan sama dengan yang ditulis oleh Tan Malaka disini, kelak boleh dicari dan ditanya oleh mereka yang berkeinginan menulisnya bahwa tidak jauh dengan yang dicerita Tan Malaka sendiri. Kalau tidak cocok benar, bukanlah terletak pada kemauan, melainkan pada kesilapan sebagai manusia atau pada sifatnya memory, ialah peringatan. Apa yang dituliskan itu hanya sebagian saja dari pada sejarah hidup Tan Malaka. Berdasarkan bagian tersebut Tan Malaka, menganggap bukan bahagian yang kurang penting, karena rapat perhubungannya dengan usaha saya melakukan hasrat kemerdekaan dalam arti politik dan ekonomi. Bahagian hidup itu Tan Malaka pusatkan pada beberapa penjara. Berhubung dengan itu sepatutnya pulalah sekitar tiap-tiap penjara itu diberi penerangan. Begitulah, maka tiap-tiap penjara itu diterangi oleh keadaan sebelum, sedang dan sesudahnya Tan Malaka masuk penjara. Demikianlah berturut-turut Tan Malaka riwayatkan sebelum, sedang dan sesudahnya sewaktu dipenjarakan di Hindia Belanda, Philippina, Hongkong dan di Republik Indonesia. Mungkin bukunya terbagi menjadi tiga jilid. Kalau begitu maka jilid pertama hanya meriwayatkan sekitar penjara Hindia dan Filipina. Usaha Tan Malaka mendapatkan kewajiban menuntut kemerdekaan rakyat Indonesia dan Tan Malaka sendiri nyata mendapat halangan keras dari Imprialisme Belanda, Amerika dan Inggeris. Bagi Tan Malaka, hal itu tak mengherankan dan tak mengecilkan hati. Sebaliknya Tan Malaka merasa gembira menyaksikan hebatnya perjuangan rakyat Indonesia di masa Imperialisme Internasional. Tan Malaka percaya pula, jika kelak semua halangan itu sekali terpelanting dan kemerdekaan 100% tercapai, maka pada saat itu akan terjaminlah kesentosaan, kemakmuran dan kebahagiaan rakyat Indonesia yang merdeka itu. semua kodrat lahir dan batin yang dibangunkan dan diperoleh guna melemparkan semua halangan itu, kelak akan menjelma menjadi kodrat pembangunan dan pelindung dalam segala2nya. Semakin banyak kodrat itu diperlukan dan diperoleh, semangkin teguh jaminan buat hari depannya rakyat Indonesia. Buku ini diberi nama oleh Tan Malaka dengan “Dari Penjara ke Penjara”. Memang Tan Malaka rasa ada perhubungan antara Penjara dengan Kemerdekaan Sejati. Barang siapa sungguh menghendaki kemerdekaan buat umum, segenap waktu ia harus siap sedia dan iklas buat menderita “Kehilangan Kemerdekaan diri sendiri”. Dalam bab I: Siapa ingin Merdeka harus bersedia dipenjara. Situasi yang dihadapi. Pastilah bukan dua melainkan tiga jilid, yang sebelum serbuan Belanda di Jawa bulan Desember 1948, hanya jilid pertama dan ketiga telah beredar dalam bentuk stensilan. Di Sumatra terbit jilid pertama dan karangan pertama dari jilid kedua, dalam seri penerbitan yang diberi nomor berturut-turut. Tebal terjemahan Helen Jarvis seluruhnya terdiri dari 566 halaman: 303, 401 dan 381 untuk masing-masing jilid. Dalam bukunya hampir tiga puluh kali Tan Malaka menyebut suatu saat, atau menunjuk pada suatu peristiwa aktual, dari itu bisa disimpulkan pada bulan apa dan sampai di mana perkembangan penulisan manuskripnya. Ia memulai kisahnya di Magelang; sejak 11 Maret 1947 ia dipindahkan ke sana. Di sini ia mendapat kesempatan menulis, dan barangkali dalam bulan April 1947 kalimat-kalimat pertamanya mulai dituliskan di atas kertas. Bagaimanapun dalam bulan Mei 1947 separoh jilid pertama telah terselesaikan. Dalam bulan Juli ia menulis bab sebelum bab yang terakhir. Aksi militer Belanda mungkin sekali tidak menunjang bagi penulisan naskahnya; malahan justru memindahkannya dengan terburu-buru ke Ponorogo, yang keadaannya jauh lebih buruk ketimbang keadaan di Magelang. Dalam bulan September 1947 terbuka kesempatan untuk menyusun kata pengantar dari jilid pertama, dan juga untuk memulai jilid yang kedua. Dalam bulan Oktober lima dari enam bab telah selesai; bab yang terakhir dan terpanjang menyusul dalam bulan November 1947. Kata pengantar tersendiri untuk penerbitan jilid ini tidak pernah datang. Jilid pertama belum kunjung terbit juga, dan masih harus menunggu berbulan-bulan lagi. Dengan segala ketidakpastian ini, maka tidak semestinya mencurahkan tenaga untuk sebuah kata pengantar baru. Semuanya itu tidak membikin takut Tan Malaka untuk bekerja seperlunya memulai dengan jilid ketiga, yang dalam bulan Desember 1947 sudah seperempat terselesaikan, dan pada bulan Maret 1948 separoh yang terakhir dengan cepat terselesaikan juga berkat pengutipan dari karangan-karangn yang sudah terbit sebelumnya. Di dalam sel Madiun, yang sejak 26 November 1947 ia dimasukkan di sana, dituliskannya pada halaman penutup, bahwa ia telah menyelesaikan naskahnya pada bulan Maret 1948. Dengan demikian dalam waktu satu tahun Tan Malaka menuliskan riwayat hidupnya, dari April 1947 sampai Maret 1948: jilid pertama dari April sampai Juli 1947; jilid kedua dari September sampai November 1947; dan jilid ketiga dari Desember 1947 sampai Maret 1948. Situasi untuk bisa menghasilkan karya yang begitu luas jauh dari ideal. Untuk Tan Malaka disediakan pensil kertas dan meja tulis. Sel yang dihuninya terkadang sepi, terkadang harus dihuni bersama sesama kawannya. Nasibnya tidak jelas. Pemindahan bisa terjadi setiap saat; kemudahan-kemudahan bisa dengan seenak sendiri diberikan atau dicabut. Begitu juga dengan nasib naskahnya tidak pasti; dirampas atau dihancurkan selalu menjadi ancaman. Bab-bab karangan yang tertulis tangan itu diselundupkan keluar penjara, atau diambil oleh orang-orang yang membesuk Soekarni atau Tan Malaka. Dalam hal ini juga ada seorang pegawai penjara di Magelang yang ikut berperan sebagai kurir. Tulisan-tulisan tangan Tan Malaka itu kemudian diketik dan distensil oleh pengikutnya di Yogya. Ikut terlibat dalam hal itu Pangalu Lubis, Hasan Sastraatmadja, dan Paramitha Abdurrachman. Tulisan tangan Tan Malaka itu memberi cukup masalah bagi para pengetik, terutama dengan kata-kata dari bahasa asing dan nama-nama yang harus disalin. Selanjutnya teks juga memperlihatkan gaya Tan Malaka yang istimewa: khas, kuno, tidak selalu konsekuen mengubah gramatika dalam bahasa Indonesia, seringkali mengambil kata-kata dan ungkapan-ungkapan dari bahasa Belanda, Inggris, Perancis dan Jerman, dan dalam bukunya ini juga dari bahasa Tionghoa, Jepang dan Latin. Jarvis menamai buku ini sebagai ‘cendrung’ pada gaya Jerman dengan banyak menggunakan huruf kapital, khususnya untuk nama-nama benda abstrak, dan menuliskan serangkaian tanda seru, tanda tanya dan titik-titik. Kemungkinan menggunakan bahan stensilan sebagai cetakan percobaan jelas tidak bisa. Jilid pertama stensilan itu terbit dengan sangat banyak salah ketik. Sesudah terbit Tan Malaka, yang saat itu masih di dalam penjara di Magelang, kiranya sudah melihat penerbitan bukunya itu. Rintangan lain dengan menuliskan ingatannya menyebabkan tidak adanya literatur. Untuk jilid pertama dan sebagian sangat besar jilid kedua melihat pada rujukan dalam teks hanya memberikan sebagian dari suplemen pada Encyclopaidie van Nederlandsch-Indie, di mana J.Th. Petrus Blumberger memberikan laporan panjang lebar tentang sejarah komunisme dan Partai Komunis di Hindia, demikian juga dari Inside Asia John Gunther yang populer cetakan pertama tahun 1939. Ensiklopedi tersebut seringkali dikutipnya untuk menyusun catatan tentang peranannya sendiri di dalam gerakan komunis; Tan Malaka sedikit saja memberikan kriti