Pancasila bagi politik nasionalisme yang inklusif
Prayudi (Prayudi)
Tersedia di:
Deskripsi
Bibliografi: halaman 107-112 ; Bangsa Indonesia yang telah memasuki lebih dari dua dasawarsa reformasi setelah tahun 1998, tampaknya komitmen dan pendekatan operasional dalam menjalankan Pancasila sebagai landasan bagi bangunan nasionalisme yang bersifat inklusif adalah menjadi kebutuhan dan sekaligus sebagai tantangan tersendiri. Hal ini menjadi menarik di saat formulasi kebijakan terkait idelogis, seperti halnya saat kasus penolakan beberapa pihak terhadap rancangan undang-undang (RUU) tentang Haluan Ideologi Pancasila dan sekaligus kontroversi pada kegiatan tertentu dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang dikaitkan dengan perspektif keagamaan, menegaskan tentang ruang politik kritik dan koreksi tadi. Rujukan atas politik rezim dalam menjalankan landasan politik nasionalisme yang inklusif tentu menjadi bisa saling terjadi persilangan kepentingan yang positif di satu pihak. Sebaliknya, juga bisa di lain pihak justru menegasikan atas keberagaman nilai-nilai partikulatistik dalam politik kebudayaan dan sosial ekonomi di setiap lapisan masyarakat. Tarikan di antara masing-masing kutub politik rezim di antara kepentingan yang bersaing dan tuntutan integrasi antar nilai-nilai sub ideologis komunitas yang ada di tengah masyarakat itulah menjadi kapasitas negara terkait komtmen ideologisnya. Pancasila sebagai landasan bagi nasionalisme yang inklusif diharapkan tidak terjebak pada kepentingan sektoral dan jangka pendek sebagai akibat motif kekuasaan rezim semata. Sebaliknya, perwujudan dari Pancasila untuk mampu menaungi, melindungi, dan sekaligus mengelola berbagai perbedaan yang ada di tengah masyarakat sebagai kekayaan sumber daya negara jelas sangat dibutuhkan.