Pulau batu di samudra buatan
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (Pengarang) ; Christina M. Udiani (editor)
Tersedia di:
Deskripsi
Ketika banjir memakan Hotel lantai demi lantai, sekelompok tamu yang terjebak mencoba meregulasi kehidupan sementara mereka. Sambil mengikuti keseharian kembar lima yang terdiri dari bocah serba-bisa, anak manis dengan rambut selurus tempe, gadis sunyi, perempuan dengan kepribadian serupa banteng, dan si bungsu pengutip film, 87 tamu harus mencari cara keluar dari Hotel yang disekap banjir buatan dan pembunuhan…. Kaki kami terendam air. Meskipun masih pagi, matahari sudah terik, sehingga air yang menggenang terasa hangat, membuat kami merasa seperti sedang berdiri dalam kubangan kencing. Metro yang bilang bahwa, menurut Skala (“Si Babi,” tambahnya), air naik dengan sangat cepat sejak dini hari (“Skala itu Babi Ngepet, jadi dia gak tidur waktu malam,” menurutnya). Makanya kami datang ke sini, ke lantai tujuh, untuk menonton kenaikan air. Melihat dinding-dinding perlahan-lahan ditandai noda basah sebelum ditelan air adalah pengalaman yang sangat menakjubkan. Tapi setelah air mulai membasahi betis dan paha, takjub terhenti dan rasa terganggu kami bertumbuh. Pelan-pelan, gerutu membesar, dan kelompok kecil kami akhirnya beranjak meninggalkan Mezzanine Baru; menanjaki tangga darurat dengan sandal basah atau kaki telanjang; terus, hingga akhirnya Mezzanine Baru tidak lagi dipenuhi manusia, dan semata-mata disesaki air. Mencuat dari tengah gerombolan pendaki setengah-basah adalah lelaki jangkung yang tampak mencolok karena postur anggunnya, sepasang sepatu pantofel mengkilap yang dijinjing oleh tangan kirinya, kaos kaki basah yang menggantung di ujung jari-jemari kanannya, pipa celana yang menitik-nitikkan air ke mata kakinya, gelengan penuh deritanya, dan gumaman sedihnya. Bpk Kesuma, manajer hotel paruh baya yang gagal kabur dari sergapan banjir empat hari lalu, dengan begitu patah hati memandangi jari-jari kakinya dan bergumam, “Habis satu mezzanine lagi, habis satu mezzanine lagi….”